09 Oktober 2008

Bung!

Bung !
8 oktober 2008

Akankah kau menggelepar esok pagi, Bung?
Ketika sebuah timah panas mengancam jantungmu
dengan penuh noda merah.
Hanya sebuah lubang. Hanya sebuah lubang.
Menghiasi tubuhmu, Bung.
Tubuhmu yang belum terlalu tua untuk bercinta
penuh gairah
Hidup yang belum lama nikmati kata merdeka

Kasih pagi lewat embun masih ada untukmu
Setetes bening yang hilangkan dahaga tuk sementara
Sementara saja, jangan terlalu lama. Sebab
makin lama, makin lama ia kan jadi dusta
Melebur jadi hawa terik surya yang menelan raga

Bung, kemana perginya kau bertempur hari ini ?
Di Kerawang atau Surabaya?
Bandung atau Papua?
Ataukah kau melawan penjajah dari Sabang
sampai Merauke?

Selamat berjuang, Bung!
Berbahagialah bila kau mati di medan darah
Sebab yang tersisa untuk kami tinggal medan-
medan dusta
yang menyebar bagai ranjau darat Vietnam.

Barbahagialah kau, Bung!
Sebab tak kau lihat kami terluka karena lupa
dan serakah
Lawan kami bukan lagi kompeni atau jepang
Tapi, penjajah saudara sendiri dan tentu diri kami.

Selamat berjuang, Bung!
Kamipun berjuang disini.
Koruptor-koruptor harus angkat kaki dari tanah ini
Mereka bukan lagi sebangsa kita, meski
KTP-nya Indonesia
Mereka penjajah berdasi dengan ikat pinggang
menggembung, dan
Beristri wanita-wanita cantik pribumi

Bung, kalau dulu para tu7an tanah berkhianat
pada rakyat di rumah dan sawah
Kini, pengkhianat-pengkhianat berkumpul
di dewan-dewan
komisi-komisi
panitia-panitia

Idiolagi mereka bukan lagi kekeuasaan, tapi uang.
Cinta mereka bukan lagi keluarga, tapi uang.
Hidup mereka bukan lagi ikhlas, tapi uang.

Bung, mari sama kita berjuang!
Kau panggung sejata, aku panggul pena
kau tenteng senapan, aku tenteng buku
keu genggam granat, aku genggam pacul

Bung, kita bagi tugas kita untuk bangsa
Mari, Bung!
Ayo, Bung!