20 Januari 2009

Naskah : Terompet Senjakala

Terompet Senjakala

oleh : R Giryadi

Babak I
Sebuah panggung dengan setting sederhana. Dua kursi tua bergantung di atap, berwarna hitam kecoklatan (atau lebih baik berwarna hitam). Latar dan floor, berfarna putih bersih, tanpa ada asesoris yang menempel. Seorang lelaki tua dan perempuan tua yang sudah berumur ratusan tahun, atau barangkali ia adalah jasad yang bergentayangan sedang risau atau gembira, atau apa saja.

1. Kakek
Sayangku…! Dimanakah engkau! Say….?Adakah engkau masih dalam desah nafas cinta, sebagaimana sering kau ucapkan padaku. Ah, Say, kau jangan memain-main, dan bersembunyai dalam kefanaan ini. Say…jawablah aku, di mana engkau. Kita sudah terlalu tua untuk saling berkejaran. Waktu kita hanya cukup untuk saling berpandangan. (berputar-putar di segala sudut) Apakah permainan kita cukup sampai di sini. Masih banyak yang bisa kita mainkan. Apakah kau sudah bosan dengan permainan ini.
Ah, barangkali Say, ingin permainan yang lain. Coba saya buatkan, Say. (Bermain-main dengan cahaya senter)…dalam cahaya ini, aku berjalan menyusuri dunia hitam, mencari belahan jiwaku. Cahaya-cahaya ini menusuk-nusuk dinding gelap, mencari dirimu, tetapi kamu tetap membisu. Kamanakah kamu. Padahal, sudah sekian ribu kilo cahaya aku susuri, tetapi tak tampak wajahmu…Ah, bahasa apa ini. Tapi mungkin kamu pingin permaian yang lain. Tan, setan gundul temokna kekasihku, dimakah kau sembunyikan. (berulang-ulang) Ah, tapi dimana kamu? Sia-sia aku membuatkan mainan untukmu, kalau aku tidak tahu bagaimana kamu bergembira. Ya, minimal melihat senyumulah. Ayolah, Say. Jangan kau bermain-main dalam ketidaktahuan ini. Ini bukan saatnya kita menyepi. Kenapa tidak kita teruskan permainan kita. Apakah engkau lelah. Bukankah aku sudah menyediakan apa yang engkau inginkan. Di sana masih tersimpan harapan. Mengapa engakau begitu merisaukan masa depan kita. Ayolah say, jangan main petak umpet begini. Di sini gelap sekali. Aku hampir tidak bisa melihatnya. Cahaya ini terlalu muram, bagi kehidupan kita yang menyala-nyala.

Say, mengapa engkau masih saja diam. Bukankah kini waktunya kita bertemu. Lihatlah kursi kita masih bergoyang-goyang, pertanda masih beberapa waktu lalu kita berada disini. Tetapi mengapa kini kau tinggalkan aku sendiri. Disini masih muram, Say. Tanpa kehadiranmu, barangkali hidupku sepi. (berjalan terus, sambil menyalakan senter ke sisi-sisi yang lain)
2. Nenek
Pandangan kita sudah kabur. (Nenek on stage. Ia berjalan tertatih-tatih, seakan jalanan begitu sulit). Kabut hitam, menghalangi mata kita yang rabun. Kita terlalu renta untuk menepisnya. Jarak pandang kita hanya tinggal beberapa jengkal dari lubang kematian. Oh, kabut itu, telah membuat kita tak berdaya. Say…jangan bermain-main seperti anak kecil. Hidup kita hanya cukup untuk saling memandang. Kenapa waktu kita begitu sedikit, untuk berbicara yang tak penah selesai. Oh, kabut. Kamu begitu mencemaskan. Kau membuat kami hidup pontang-panting, hanya untuk memaknai, kesenderian ini. Say…cepat ucapan sesuatu biar aku mendengarmu. Sejak kapan kamu berubah pikiran. Apa artinya kata-kata yang kau ucapkan, bahwa kita akan sehidup semati, aku belum mati malah kamu mati duluan. Lelaki kok tidak ada yang bisa dipegang hidungnya. Maunya dipegang apanya lagi? Ayo Say, kau jangan main-main, waktu kita hanya sesaat. Kita harus kembali di peraduan jangan sampai ketinggalan waktu.
Apakah kau berselingkuh. Ah, aku tahu kau pasti berselingkuh dengan dirimu sendiri kan. Aku tahu itu kejelekanmu sejak kamu kenal dengan aku. Tapi, tidak apa-apa daripada selingkuh dengan wanita lain, itu lebih baik. Toh, aku tetap mencintaimu. Sayang, kini kau telah pergi untuk selamanya, tanpa memberi kabar padaku. Ini kekejaman ke dua setelah kau aku biarkan kau selingkuh dengan dirimu-sendiri.


3. Kakek
Say…berbicaralah. Jangan membuat suasana bertambah sepi. Aku rindu bau mulutmu. Aku tahu, kau sudah bosan dengan permainan ini semua. Barang kali kau sudah kehabisan permaian, sehingga kau berbuat konyol semacam ini. Bicaralah, kabut ini tak akan pergi bila kita diam saja. Kenapa begitu gelap, padahal kemarin-kemarin cahaya begitu terang memenuhi ruangan ini. Kegelapan ini membuat kita berputar-putar. Jangan-jangan kita kembali ke masa lampau. Masa ketika aku masih perjaka dan kau masih perawan. Ah, kegelapan akan muncul cahaya terang. (Menyanyi lagi ) tan setan gundul temokna kekasihku, dimana kau sembunyikan. (menyalakan cahaya senter tepat di wajah nenek). Seeetttaaaannn!!!!… (Berlari). Ah, ternyata kau ada disitu. Kalaupun toh saya tahu, kamu ada di situ aku tidak akan bicara macam-macam dan berputar-putar macam tadi.
4. Nenek
Itulah kamu. Mau bicara aja berputar-putar. Selalu membuat keributan dalam rumah. Istrinya sendiri dikatai setan. Dasar dhemit.
5. Kakek
Kau jangan begitu, Say. Rumah ini harus terus kita bikin ribut, biar kita tidak merasa kesepian. Rumah kita yang telah lama hampir saja runtuh, karena tubuh kita tak mampu menyangganya. Oh, betapa sepinya bila aku tak banyak bicara.
6. Nenek
Mana ada manusia yang tak pernah merasa kesepian. Bukankah manusia harus hidup menyepi, karena kegaduhan diantaranya telah menyebakan kita berada dalam jurang kesepian. Inilah bibir terindah dari kehidupan. Bibir kesepian.
7. Kakek
Ya, barangkali kita lebih terhormat dari mereka yang telah menciptakan kegaduhan yang berisi sampah dan tikus-tikus pemamah bangkai.
8. Nenek
Hiiii, jijik.
9. Kakek
Hiiii, menggelikan….
10. Nenek
Kok menggelikan?
11. Kakek
Ya, menggelikan. Apa yang barusan kita omongkan seperti busa, tak ubahnya teror kegaduhan itu. Itulah sampah. Banyak omong. Tong kosong..
12. Nenek
Nyaring bunyinya. Apakah tidak boleh. Terkadang kita butuh omong kosong, dari pada berisi tapi membuat kita merasa terasing pada diri kita sendiri.
13. Kakek
Ha..ha..ha..kekosongan itu, karena kita merasa terasing mengurai tubuh kita sendiri. Bukankah kita tidak tahu berapa usia kita, kapan kita mati, kapan kita hidup, kapan kita lahir kembali. Atau jangan-jangan kita sudah mati dan kita tidak merasakan karena, kita sudah terlalu terasing dengan tubuh kita?
14. Nenek
Mati? Aku pernah mendengar kata-kata itu. Tapi di mana ya?
15. Kakek
Lo?
16. Nenek
Lo, di mana ya? Sayangku pernah mendengarnya?
17. Kakek
Lo? Kenapa aku juga lupa mengingatnya?
18. Nenek
Bodoh! Semestinya kita tahu. Kenapa?
19. Kakek
Ya. Barangkali kita sudah mati…?
20. Nenek
Mati rasa..maksudmu?
21. Kakek
Mati rasa? Mati beneran…!
22. Nenek
(Membahu tubuhnya) Belum? Aku tidak bau apa-apa.
23. Kakek
(Mengendus) Aku merasakan sesuatu yang menyengat. Dan ini pasti bau kematian. Ah, bukan? Baunya lain sekali. Saya pernah merasakannya…. (Menutup hidung)
24. Nenek
Itu bau kentutku…hi..hi..hi..
25. Kakek
(Menutup hidung). Hup! Sayangku, mengapa kamu mengacaukan keadaan.
26. Nenek
Angin terlalu keras. Aku masuk angin.
27. Kakek
Ah itu tandanya kita masih hidup. Kamu bisa kentut dan saya masih bisa membahu bahu kentutmu.
28. Nenek
Sembarangan. Kematian dan kehidupan tak setara dengan kentut.
29. Kakek
Saat ini setara. Kita tahu dari mana kentut itu berada, tapi kita tidak pernah tahu warna, ujud, dan kemana perginya kentut itu…
30. Nenek
Kentut lagi, kentut lagi…bosan. Apakah kehidupan tidak ada yang lebih berharga dari kentut.

Kakek tercenung sejenak. Ia membetulkan posisinya. Kemudian tarik napas dalam-dalam.

31. Kakek
Barangkali, hanya kematian yang membuat hidup lebih hidup. Wah kayak iklan saja…
32. Nenek
Kematian lagi, kematian lagi.
33. Kakek
Lagi-lagi kematian.
34. Nenek
Mati lagi, mati lagi.
35. Kakek
Lagi-lagi mati.
36. Nenek
Kapan hidupnya?
37. Kakek
Setelah mati
38. Nenek
Mati setelah hidup?

39. Kakek
Hidup setelah mati?
40. Nenek
Kok dibolak-balik?
41. Kakek
Biar tidak gosong.
42. Nenek
Bercanda!
43. Kakek
Kalau gosong kita mampus. Antara hidup dan mati tidak ada bedanya, tidak ada artinya. Terus gimana..kalau kita tidak tahu beda antara hidup dan mati?
44. Nenek
Emang ada bedanya? (Nadanya kenes sekali)
45. Kakek
Saya tidak tahu!
46. Nenek
Kenapa?
47. Kakek
Saya belum pernah mati.
48. Nenek
Kalau begitu!?
49. Kakek
Kau menyuruhku mati?!
50. Nenek
Jangan salah paham. Maksudku jangan bicara mati, melulu!
51. Kakek
Ya, sebaiknya kita tidak usah bicara. Karena kita toh tidak tahu, saat ini apakah kita sedang menjalani hidup atau mati.
52. Nenek
Bosan! Aku pergi saja.
53. Kakek
Mau kemana?
54. Nenek
Kamu bicara mati melulu…
55. Kakek
Takut..?

Nenek diam saja. Ia terpaku. Keheningan memuncak ke ubun-ubun.

56. Nenek
Aku teringat masa kecil. Kini tiba-tiba kita merasa tua sekali. Padahal seperti kemarin saja aku merusakan boneka-boneka itu. Sepertinya es krim itu baru saja meleleh dari genggamanku. Masa lalu kita seperti baru kita lampaui sedetik yang lalu. Kenapa, waktu segera melesat, padahal kita belum mengerti apa yang kita maui.
57. Kakek
Barangkali itulah kelemahan manusia. E, maksudku kelemahan kita.
58. Nenek
Manusia memang lemah.
59. Kakek
Itulah kita terus kalah.
60. Nenek
Kenapa?
61. Kakek
Karena kita manusia lemah!
62. Nenek
Kenapa?
63. Kakek
Karena kita diciptakan dari lemah.
64. Nenek
Kenapa?
65. Kekek
Kenapa! Kenapa!
66. Nenek
Maksudku kenapa kita diciptakan lemah?
67. Kakek
Biar tidak bawel seperti kamu.
68. Nenek
Maksudmu?
69. Kakek
Bodoh! Itulah manusia. Kalau kuat akan mengganggu.
70. Nenek
Siapa?
71. Kakek
Yang mencengkeram kita!
72. Nenek
Siapa?
73. Kakek
Tuhan!
74. Nenek
Hus! Kuwalat! Dosa besar
75. Kakek
Tidak. Tuhan tambah senang. Kalau mau tidak lemah, manusia harus berani bertanya. Protes. Sekali-kali juga menantangnya. Ini yang diinginkan-Nya.
76. Nenek
Say, menyebutlah. Ini dosa besar. Kamu bisa kena kutukkan.
77. Kakek
Manusia lemah. Ia, tidak suka seperti ini. Tuhan, menciptakan kita lemah, agar kita terus berusaha mencari kekuatan. Kalau kita lahir terus kuat, kita bertambah malas. Kalau sejak lahir manusia sudah tahu segalanya, ia akan sombong dan malas.
78. Nenek
Pintar bersilat lidah.
79. Kakek
Tidak percaya!
80. Nenek
Tuhan itu Maha Sempurna. Mana mungkin sengaja menciptakan kita makluk lemah. Ini kan hanya akal-akalanmu agar kita tidak merasa lemah sekali.
Itu kan hanya bahasanya orang kalah. Orang yang mau mati. Orang sekarat. Coba kalau sehat seperti waktu kita masih muda.
81. Kakek
Kita akan hidup selamanya.
82. Nenek
Mengigau?
83. Kakek
Say, ayolah. Kenapa kamu minta cepat mati?
84. Nenek
Aku tidak meminta. Kamu mulai melenceng dari pembicaraan.
85. Kakek
Melenceng bagaimana?
86. Nenek
La itu tadi. Yang dibicarakan mati melulu.
87. Kakek
Siapa yang memulai.
88. Nenek
Tidak ada yang memulai.
89. Kakek
Nah berarti?
90. Nenek
Stres!
91. Kakek
Mikir?
92. Nenek
…….?
93. Kakek
Ah, sudahlah, Say. Waktu kita habis untuk berdebat. Kenapa kita tidak memikirkan yang lain saja, dari pada bersitegang yang tidak pernah kita mengerti? Manusia kok terus diperbudak oleh ketidakmengertian. Ruangan ini telah lama kita tempati. Tetapi kita tak pernah mengerti kapan kita akan pergi dari rumah ini. Ini penjara. Penjara bagi pikiran yang terbelenggu. Kenapa kita terus bersitegang, kalau hanya untuk menengok kejendela saja kita lupa?
94. Nenek
Barangkali maut memang bukan apa-apa. Hanya kita saja yang takut, karena terlalu lama terlena duduk di singgasana kehidupan. Kita lupa, bahwa singgasana ini bukan milik kita. Kita harus beranjak. Tidak terus menerus bermain di atas kursi tua yang telah lama kita jadikan ajang pertaruhan antara hidup dan mati.
95. Kakek
Aku ingat, betapa waktu itu aku seperti hero.
96. Nenek
Kamu curang!
97. Kakek
Kenapa?
98. Nenek
Kamu hanya mengingat dirimu sendiri. Bukankah aku yang membuatmu menjadi hero. Apakah kau tidak ingat itu, Say. Kenapa laki-laki mesti egois ketika mengingat masa lalunya. Say, kau harus adil. Sejarah tidak boleh ditutup-tutupi.

99. Kakek
Tidak, aku tidak berusaha menutupi. Aku hanya terbiasa dengan diriku sendiri. Tetapi bukankah sejarahku adalah sejarahmu juga. Sudahlah, Say jangan ributkan masalah masa lalu. Lebih baik kita bergembira saja. Bukankah saat ini kita butuh bahagia. Mengingat masa lalu, hanya seperti mengkais-kais tong sampah saja, tidak ada gunananya. Kalau begitu, sekarang kau mau apa?
100. Nenek
Apa-apa mau.
101. Kakek
Kok serakah?
102. Nenek
Maksudku, terserah kamu.
103. Kakek
Bagaimana kalau kita menyanyi?
104. Nenek
Suaramu jelek…
105. Kakek
Tidak apa, yang penting terhibur…
106. Nenek
Yang lain saja..hiburan kok jelek. Ya, harus menarik dong!
107. Kakek
Ya, tetapi apa? Katakan dong..
108. Nenek
Kau sudah lupa ya dengan kesukaanku?
109. Kakek
Apa?
110. Nenek
(Malu-malu)?
111. Kakek
Apa, jangan diam begitu saja. Ayo katakan saja!
112. Nenek
(Kemayu)
113. Kakek
Alah kok centil amat..Say minta apa?
114. Nenek
Kalau malam-malam begini minta apa?
115. Kakek
Apa?
116. Nenek
Saya minta seperti Surti dan Tejo….
117. Kakek
Say membingungkanku..maksudnya nyanyi itu?
118. Nenek
Yang kayak lagunya..Jamrud itu…lo..
119. Kakek
Lagunya Jamrud..Siapa itu?
120. Nenek
Ah, itu waktu kita masih muda. Waktu itu, aku berteduh di gubuk sambil menunggui burung yang memakan padi. Tiba-tiba kau datang. Tidak tahu kau berdandan apa. Pokoknya seru banget deh. Aku tahu kamu baru pulang dari kota. Makanya dandanannya funky. Eh..terus..terus..terus…..
121. Kakek
Terus bagaimana..?
122. Nenek
Ah, kamu bego!
123. Kakek
Aku memang tidak ingat?
124. Nenek
Begitulah lelaki, kalau sudah berbuat lupa bertanggung jawab.
125. Kakek
Kalau rasanya ingat…..Ah.. aku memang benar-benar lupa. Maksudmu bagaimana?
126. Nenek
Kamu jangan bercanda. Waktu itu kamu terus kamu memegang tetekku. Kemudian terus meraba bawah pusarku. Aku menjerit. Kamu tambah meremas-remasnya. Aku melengking. Kamu tambah , menyingkap rokku. Aku terengah, kau malah…
127. Kakek
Porno ah….!
128. Nenek
Porno apanya? Memang begitu kok kejadiannya.
129. Kakek
Ah aku ingat. Ternyata kau sudah bunting!
130. Nenek
Ya, tetapi kau yang melakukannya.
131. Kakek
Suka sama suka kan?
132. Nenek
Tetapi setelah aku tua?
133. Kakek
Boleh. Kenapa tidak. Wong pekerjaan enak saja….
134. Nenek
Cihuiiiiii…. mari kita bikin video klip lagunya Jamrud!
135. Kakek
Lo, kok video klip? Katanya kita mau mainin kuda-kudaan
136. Nenek
Sama saja. Cuman beda istilah. Ayo..udah kebelet nih!

(lighting black out. Musik romantis mistis. Layar putih turun)

137. Nenek
Say, kenapa lampunya kau matikan.
138. Kakek
Saya tidak mematikan?
139. Nenek
Lalu siapa?
140. Kakek
Tidak tahu!
141. Nenek
Cari tahu dong!
142. Kakek
Pada siapa?
143. Nenek
Pada siapa saja.
144. Kakek
Di sini tidak ada orang selain kita.
145. Nenek
Lalu kenapa lampunya dimatikan?
146. Kakek
Aku malu.
147. Nenek
Malu pada siapa?
148. Kakek
Pada diriku sendiri.
149. Nenek
Kenapa emang?
150. Kakek
Aku kan sudah tua.
151. Nenek
Kenapa, takut tidak mampu?
152. Kakek
Bukan.
153. Nenek
Lalu, kenapa?
154. Kakek
Takut tidak bisa dua kali…
155. Nenek
Ah, ngaco. Ayo kita mulai, begitu saja ribut. Nyalakan lampunya, kan tidak ada orang.
156. Kakek
Aku suka lampunya padam.
157. Nenek
Say, kita ini sudah tua. Mata kita sudah rabun, masak bisa begini. Nyalakan saja. Aku lebih suka yang terang.
158. Kakek
Tidak enak. Mengganggu konsentrasi. Lebih baik begini.
159. Nenek
Say kalau begini terus kapan kita mulai. Lagian siapa tahu, keliru memasukannya.
160. Kakek
Hus, didengar tetangga.
161. Nenek
Biarin, tetanga kita lagian pasti lagi beginian. Ya, sudah kalau tidak mau menyalakan, saya nyalakan sendiri.
162. Kakek
Say, aku tidak bisa. Biar lebih adil, pakai lampu remang-remang ya. Romantis.
163. Nenek
Ah sudahlah terserah kamu.
164. Kakek
Say tidak boleh begitu. Bukankah kau tahu kebiasaannku. Ligtingman! Coba buat lampunya remang-remang. (pause) Ya, begitu. Terima kasih. He..jangan ingintip ya! Ini urusan orang tua.
165. Nenek
Ah sudah. Kamu itu bicara dengan siapa. Ayo kita mulai.
(Musik romantis. Lighting biru. Kakek nenek hanya kelihatan siluet. Kupu beterbangan. Burung-burung beterbangan. Matahari bercahaya terang saling berciuman dengan bulan yang tersenyum riang. Bintang berkedip-kedip, memberikan isyarat cinta. Kabut tipis membelai gemuai tubuh yang berpelukan. Suara nyanyian dari dewa-dewi cinta)

Kisah Cinta
Sungguh indah, kisah cinta
Yang pernah aku rasa dan alami
Indah dan menarik hati
Tak kan ku lupa sampai akhir nanti
Walau seribu tahun, tlah berlalu
Kisah cintaku tak akan beku
Andai kisah cinta sekuntum bunga
Tak akan layu ditelan masa.
Kisah cinta, kisah surga
Yang pernah aku rasa dan alami
Bergetar hati di dada
Bagaikan hidup sribu tahun lagi

(Lighting Break in)






















Babak II

(Sesosok tubuh hadir dengan berguling-guling dan berputar-putar)
166. Nenek
He, siapa kamu! Kenapa kamu menerombol, ketika kami sedang bersetubuh. Kamu tidak menghargai waktu. Semestinya kau tidak menerombol masuk seperti itu. Kamu harus tahu sopan santun. Masuklah dengan cara yang benar. Bukankah sudah kami bilang, jangan sekali-kali mengacaukan keadaan. Kenapa kamu tiba-tiba mengacaukan ketenangan ini. Tidak berbudaya!
167. Kakek
Sudah aku bilang, aku tidak suka lampu menyala. Kini kita ketahuan.
168. Nenek
Dia, memang kurang ajar.
169. Kakek
Siapa dia?
170. Nenek
Anakmu!
171. Kakek
Anakmu juga!
172. Nenek
Anakku? Anakmu? Kapan aku melahirkan?
173. Kakek
Kapan kamu melahirkan?
174. Nenek
Tidak ada tanda-tanda.
175. Kakek
Tidak hamil? Aneh
176. Nenek
Ngacau. Maksudku, kapan kita membuatnya. Bukankah kau tak pernah menghamiliku!
177. Kakek
Gila. Kau menghinaku! Dikiranya aku mandul begitu? Kalau aku tidak menghamilimu, berarti kau telah dihamili orang lain.
178. Nenek
Lancang! Menuduh seenaknya. Dikiranya aku suka berbuat begitu.
179. Kakek
La buktinya saya tidak menghamili kamu kok punya anak.
180. Nenek
Siapa punya anak. Ia bukan anakku!
181. Kakek
Bukan anakmu?
182. Nenek
Ya. Tetapi anak kita!
183. Kakek
Lalu apa bedanya?
184. Nenek
Kenapa semua ditimpakan kepadaku. Bukankah kamu yang maksa-maksa punya anak?
185. Lanang
Aaaaaaaaddddddduuuuuuhhhhhhhhhh.Luuuuukkkkkaaaaa!!!!!

186. Kakek
SSSStttt. (Mengamati tubuh Lanang) Tubuhnya penuh luka?
187. Nenek
Lelaki harus begitu!
188. Kakek
Ini anak kita?
189. Nenek
Kenapa ia tiba-tiba datang, sementara kita masih dalam separuh perjalanan.
190. Kakek
Lanang, kenapa tubuhmu luka. Sudah aku bilang jalanan, masih penuh jurang, kau pergi juga. Apakah kau sudah menemukan jalan yang lapang. Kenapa kau kembali saat kami masih bersetubuh. Ini bukan saatmu hadir.
191. Lanang
Tubuhku luka. Luka-lukaku, di tubuhku terluka-luka.
192. Nenek
Adadakah kata-kata yang bisa aku mengerti.
193. Kakek
Itu bahasa penyair.
194. Lanang
Waktuku terluka, terluka-luka waktu-waktu di tubuh.
195. Kakek
Mengerti? (pada nenek)
196. Nenek
Luka sekali kelapa….eh kepalaku
197. Kakek
Hus…ngacau
198. Lanang
(Bergerak berpusingan, seperti gangsingan) Tubuhku waktu. Luka tubuhku kehampaan waktuku berlalu. (Berputar-putar. Jatuh) Jatuh waktu hampa lalu di tubuhku. Menjadi waktu luka dalam waktu tubuhku. (Berterbangan) Seperti waktu angin luka. Awan luka. Matahari luka. Bulan luka. Bintang luka. Galaksi terluka. Planet terluka. Tuhan terluka. Lalu duka. (Melayang-layang) Mengawan waktu. Tubuhku kaku kelu lalu beku dalam waktu batu.
199. Kakek
Omong apa?
200. Nenek
Mengigau?
201. Kakek
Edan
202. Nenek
Gendeng
203. Kakek
Koclok! Tidak waras!
204. Nenek
Idem.
205. Lanang
Karena waktu. Lalu tubuhku waktukan. Jadilah batu, batu, dan batu.
206. Kakek
Say, kita dikutuk jadi batu.
207. Nenek
Kita manut saja. Ayo, kita jadi batu saja.
208. Kakek
Seenaknya. Apakah kita nanti masih bisa bertemu, kalau jadi batu. Batu kan beku. Bisa-bisa kita dibuang di kali dan dijadikan tempat orang buang tai..hi..hi.
209. Nenek
Kalau begitu kita lari saja!
210. Kakek
Kemana?
211. Nenek
Kemana saja.
212. Kakek
Kok tidak punya tujuan.
213. Nenek
Ini perjuangan. Ini kehormatan kita. Kita lari saja say, dari pada menjadi batu.
214. Lanang
Ibu. Jangan lalu. Karena luka waktu belum lalu. Aku anakmu. Ibu. Kenapa kau tidak tahu. Akulah anakmu!
215. Nenek
Dia menyebutku ibu?
216. Kakek
(mengangguk)
217. Nenek
Berarti anakmu juga!
218. Kakek
Belum tentu…
219. Nenek
Kok belum tentu. Kalau aku ibunya pasti kamu bapaknya.
220. Kakek
Tidak bisa disimpulkan begitu. Enak saja nuduh orang..
221. Nenek
Bukankah aku istrimu!
222. Kakek
Apakah seorang istri mesti mendapat anak dari suaminya?
223. Nenek
Lalu dari mana, kalau bukan dari lelakinya. Kamu mau mangkir. Dasar lelaki. Kalau begitu anak siapa dia?
224. Kakek
Lebih baik ditanya saja. Dari pada saling tuduh.
225. Lanang
Bapak! Kenapa kau berlagak, congkak. Dengan menistakan aku sebagai kuntil anak!
226. Kakek
Mateng aku! Ia menyebut aku bapak!
227. Nenek
Begitu masih mau mangkir. Dasar, otak kadal. Semakin tua, tambah kayak brandal. Untung aku masih sabar.
228. Lanang
Bapak! Kenapa kau biarkan badai merajam-rajam tubuhku.
229. Kakek
Aduh. Ia nyebut aku bapak lagi, bapak lagi. Bocah, kau sebenarnya bukan anakku. Kau lahir dari rahim ibumu. Kenapa kau terus menguntitku.
230. Nenek
Pengecut. Mana ada seorang ibu melahirkan tanpa bapak. Tanpa disentuh suaminya?
231. Kakek
Lanang coba ceritakan. Siapa dirimu sebenarnya.
232. Lanang
Aku dari sebuah harapan yang bertemu dalam dua arus. Kemudian menggumpal menjadi daging sebesar mundu. Tiba-tiba angin bertiup deras dari tempat yang gelap. Ia datang seperti kilat, meniupkan bau kasturi. Aku merasakan kehangatan wewangian itu. Aku bangun dan merasa berada dalam selimut. Selimut itu seperti sutra tetapi kuatnya, seperti baja. Aku hendak keluar. Tetapi suaraku menatap-natap dinding sutera itu. Aku terbelengu. Aku diam. Aku tidak tahu siapa ibuku. Aku hanya tahu, setiap wanita adalah ibuku dan setiap laki-laki adalah bapakku.
233. Kakek
Kalau begitu kau anaknya siapa?
234. Nenek
Pertanyaannya tidak boleh begitu. Itu, memojokkan. Beri pertanyaan yang demokratis. Bocah, kamu memang anak kami. Tetapi, kamu belum terdaftar. Apakah kamu mengakui kami orang tuamu?
235. Lanang
Kenapa semua orang tua selalu berdusta? Berilah aku jawaban yang pasti. Berilah aku hari esok yang terang benderang. Bukan yang gelap gulita. Aku hanya ingin itu. aku tidak mau berdebat siapa kamu. Tetapi akuilah aku anakmu.

(Berguling-guling lagi, kemudian mlungker seperti trenggiling)

236. Kakek
Dia tertidur.
237. Nenek
Terlalu banyak omong. Dia kepayahan.
238. Kakek
Dia datang dari jauh sepertinya. Aku merasakan ia didatangkan oleh rasa kangen kita, akan wujud kita sendiri. Barangkali benar, ia adalah separuh perjalan kita. Semestinya kita tahu, bahwa ia adalah separuh perjalan diri kita. Ia benar. Ia anak kita!
239. Nenek
Rahimku bergetar ketika ia mengenduskan rasa dukanya. Ia pernah menorehkan luka di tubuhku. Barangkali ia benar, anak kita.

(Dari sudut lain, seorang perempuan, berguling-guling dengan tubuh penuh luka)

240. Wedok
Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan.
241. Kakek
Aku pernah mendengar lagu itu.
242. Wedok
Sayang engkau tak duduk di sampingku, sayang.
243. Kakek
Jelas aku menyukai lagu ini.
244. Wedok
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan.
245. kakek
Di tanah kering bebatuan.
246. Nenek
Hus ngacau….!
247. Wedok
Kekacauan terjadi dimana-mana. Aku berjalan seorang diri. Luka-luka ku bawa berlari. Berlari hingga hilang pedih peri.
248. Kakek
Wah dia bakat jadi penyair.
249. Wedok
Aku terluka. Jalanan penuh luka. Orang-orang terluka. Mereka terluka. Semua terluka. Aku terluka. Tiada bapa. Tiada mama. Luka-luka. Aku terluka. Terluka-luka aku.
250. Nenek
Say, apakah ia anak kita.
251. Kakek
(Geleng kepala)
252. Wedok
Ia tidak tahu. Ia membatu. Ia tidak tahu. Ia membatu. Kami terluka-luka. Ia membatu.
253. Kakek
Aku memang tidak tahu. Apakah mereka anak-anak kita. Mengapa mereka datang seperti hantu yang meneror kita. Oh, kehidupan ini….Mengapa ia terluka-luka. Aku tidak tahu…..say…
254. Wedok
Kakak. Mengapa engkau terdiam. Dimana arah mata angin. Apakah kita telah sampai pada neraka. Dimana surga?!
255. Nenek
Dia menyebut kakak.
256. Kakek
Mereka bersaudara. Bersaudara dalam suka dan duka.
257. Wedok
Kakak mengapa engkau diam seribu bahasa. Di mana surga?
258. Kakek
Di bawah telapak kaki Ibu..
259. Wedok
Ibu, mengapa surga kau sembunyikan di bawah kakimu? Mengapa kau serakah dengan kenikmatan. Kenapa penderitaan kau timpakan pada anak-anak luka?
260. Nenek
Saya tidak tahu kalau surga ada di bawah kakiku. Sampai aku menjelang ajal, aku tidak pernah merakan kenikmatan. Malah aku sering bertanya-tanya, mengapa manusia terus hidup dalam kubangan penderitaan. Aku benar-benar tidak tahu…Aku …tidak menyembunyikan apa-apa di dalam tubuhku.
261. Wedok
Kalau begitu dimana surgamu?
262. Nenek
Dibawa bapakmu. Dialah yang merebut segala kenikmatanku. Dialah yang menguasai segala kenikmatan. Dialah penghuni surga. Penguasa surga!

263. Wedok
Bapak…
264. Kakek
Mateng aku….!
265. Wedok
Dimana surga. Kami anak-anak luka. Mengapa kau sembunyikan kenikmatan itu. Kami pingin mampir dalam perjalanan yang melelahkan penuh luka ini. Kakak, bangunlah dari luka aku telah melihat surga di bawah telapak kaki bapak.

(Lanang dan Wedok, bergerak berpusingan. Berguling-guling)

266. Kakek :
Baiklah-baiklah. Akan aku tunjukan dimana surga berada. Mari kita naik perahu.
267. Nenek :
Perahu? Perahu kita sudah hancur. Aku tidak tahu, kemana perginya puing-puingnya. Dermaga itupun telah aku hapus dari peta mataku.
268. Kakek :
Barangkali begitu… Tetapi apa salahnya kita membuat perahu demi anak-anak kita…(ragu-ragu)
269. Nenek :
Kok barangkali? Yang tegas dong…
270. Kakek :
Aku tak bisa menjawab pasti. Karena kepastian belum tentu memberikan jawaban yang benar. Lanang adalah kebenaran yang tidak bisa dipastikan. Lanang adalah sejarah kita yang hidup. Ia adalah waktu kita. Ia adalah anak jarum waktu yang terus bergerak menggantikan kita berjalan menyusuri waktu.
271. Nenek :
Saya tidak tahu?
272. Kakek :
Jangan belagu, lu!
273. Nenek :
Aku memang tidak tahu!
274. Kakek :
Ya, sudah kita pergi saja! Mari kita bersama-sama berlayar mencari surga!

(Berlayar. Panggung padam. Siluet kapal-kapal. Samudra berderai-derai. Angin berhembus tajam sekali. Perahu pontang-pantingan. Sementara luka semakin luka. Duka semain duka. Tubuh mereka melayang-layang. Terhempas di tengah gelombang besar. Badai. Mereka berlayar pantang menyerah, sampai jauh sekali)

275. Nenek
Pelan-pelan kek. Di sana ada karang..Lagian nanti kamu cepat kepayahan.
276. Kakek
Cerewet kamu. Lebih cepat lebih baik. Biar cepat sampai.
277. Nenek
Sampai dimana?
278. Kakek
Kita tadi menuju kemana?

279. Koor
Surga?
280. Kakek
Betul!
281. Nenek
Emang disana ada surga?
282. Kakek
Say..kenapa pertanyaanmu begitu sulit, sementara perjalanan ini masih jauh sekali!
283. Nenek
Saya cuman butuh jawaban ada atau tidak?
284. Kakek
Itulah yang saya maksud. Saya tidak tahu..
285. Nenek
Jadi kamu sendiri tidak tahu? Lalu buat apa kita berlayar sejauh ini?
286. Kakek
Kamu jangan cerewet….! Nanti didengar anak-anak kita!
287. Nenek
Jadi kamu bohong?
288. Kakek
Saya sendiri tidak yakin di sana ada surga!
289. Nenek
Jadi kamu tidak yakin kalau surga ada?
290. Kakek
Untuk menyenangkan anak-anak, aku percaya.
291. Nenek
Jadi kamu menipu?
292. Kakek
Untuk kebaikan tidak apa-apa.
293. Nenek
Menipu kok untuk kebaikan! Menipu ya menipu. Kalau tidak ada surga, mengapa kita terus menempuh bahaya seperti ini?
294. Kakek
Sudah aku bilang dalang menyampaikan pertanyaan yang sulit di saat yang sulit. Ini menjadi blundeer…tidak akan selesai-selesai.
295. Nenek
Saya tidak mempersulit. Justru kamulah yang membuat kita sulit. Kalau tidak ada surga mengapa kita menempuh penderitaan ini begitu panjang?
296. Kakek
Saya tidak mengatakan surga tidak ada. Tetapi saya tidak tahu…
297. Nenek
laki-laki kok tidak tegas. Jelaskan ada atau tidak, biar kita tidak pontang-pantingan seperti ini.
298. Kakek
Sudah saya bilang saya tidak tahu…!!!!
299. Nenek
Harus tahu!!!
300. Kakek
Kalau saya tahu, saya tidak sudi hidup seperti ini!

(Tiba-tiba ombak membesar)

301. Nenek
Awas say, ombaknya semakin besar!

(Ombak bertubi-tubi menghajar perahu mereka yang kecil)

302. Kakek
Semua berkonsentrasi. Sampan tetap terkendali. Jaga keseimbangan!
303. Nenek
Di depan itu karang atau perahu besar!
304. Kakek
Bukan itu ombak yang bergulung. Ayo semua berpegangan erat-erat jangan sampai terlepas. Awas berpegangan yang erat. Say kamu berpegangan di tempat yang salah…aduh sakit sekali!
305. Nenek
Say, kamu berjanda. Kita sedang menentang bahaya.
306. Kakek
Iya, tapi lebih berbahaya kalau ‘burungku’ tertimpa bencana!
307. Nenek
Ah sudahlah. Ombak semakin dekat!
308. Kakek
Anak-anaku berpeganglah. Kita akan digulung ombak besar. Jalan menuju surga memang tidak gampang. Berpeganglah erat-erat!
309. Nenek
Sssstttt…emang mereka anak kita?
310. Kakek
Say, kenapa kau ajukan pertanyaan sulit. Selagi menyongsong maut, anggaplah semua ini milik kita. Sekali lagi anak-anakku…ombak semakin dekat. Berpeganglah!

(Ombak setinggi gunung menelan perahu. Mereka terpental berpencaran. Ombak semakin menggila. Angin membadai. Hujan membadai. Petir menyambar-nyambar. Teriakan mereka ditelan gelegar ombak. Badai berlalu. Sunyi. Angin tipis sekali)


Babak III

(Lampu perlahan terang. Kakek nenek berada di suatu tempat. Sementara Lanang dan Wedok di tempat lain)

311. Lanang
Kita berada dimana. Apakah ini Surga?
312. Wedok
Pasti ini disurga. Tubuh kita yang terluka sudah sembuh. Dan aku merasa bahagia.
313. Kakek
Aduh punggungku sakit sekali. Encokku kumat..Say..bangun jangan tidur terus.
314. Nenek
Aduh punggungku sakit sekali. Encokku kumat..Say..bangun jangan tidur terus.
315. Kakek
Kok sama?
316. Nenek
Disurga kan tidak ada perbedaan…semua sama bahagia.
317. Kakek
Ya..tapi kita kan sakit!
318. Nenek
Wah jangan-jangan kita keblasuk ke nereka?
319. Lanang
Aku bahagia sekali. Ini tempat yang kita tuju. Tetapi dimana orang yang tadi…?
320. Wedok
Orang siapa?
321. Lanang
Orang yang mengantar kita kesini?
322. Kakek
Saya tidak tahu. Tapi kemana anak-anak tadi?
323. Nenek
Mengigau! Anak siapa?
324. Kakek
Anak yang bersama kita tadi?
325. Nenek
Ngacau sejak bertahun-tahun kita sendiri..kok anak…!
326. Wedok
Orang yang mengaku orang tua kita itu to…?
327. Nenek
O..saya ingat. Anak yang mengaku anak kita to..?
328. Lanang
Betul!
329. Kakek
Cocok. Dia tadi bersama dalam pelayaran ini!
330. Nenek
Berlayar kemana lagi? Wong sejak tadi kita tidur disini. Ngimpi kali..ye…?
331. Lanang
Dia kan yang mengajak kita berlayar sampai jauh…?

332. Wedok
Berlayar…ah. Sejak tadi kita tiduran disini…?
333. Kakek
Betul dia anak kita!
334. Lanang
Betul mereka orang tua kita..
335. Nenek
Kamu jangan menyindir saya. Meski saya tidak bisa beranak…kamu jangan mengungkit-ngungkit masa lalu. Bukankah kamu sudah berjanji?
336. Wedok
Kamu jangan menyindir saya. Meski saya bukan anak orang tidak jelas..kamu jangan mengungkit-ngukit masa lalu. Bukankah kamu sudah berjanji?
337. Kakek
Maksud saya bukan begitu. Saya benar-benar diikuti dua anak yang mengaku anak-anak kita.
338. Lanang
Maksud saya bukan begitu. Saya benar-benar ikut dua orang tua yang mengaku orang tua kita.
339. Wedok
Dasar Laki-laki!
340. Nenek
Dasar laki-laki!
341. Kakek
Saya ngomong sebenarnya, saya tadi melihat dua anak-anak. Saya tidak bohong. Kalau bohong buat apa saya katakan. Di surga tidak ada kata-kata bohong?
342. Nenek
Kalau begitu kita di neraka. Kalau disurga mengapa tiba-tiba encok kita kumat. Kan, di surga tidak ada rasa sakit yang ada hanya bahagia. Kita malah encok dan bertengkar melulu.
343. Kakek
Itu karena tingkahmu. Coba kalu kau merasa bahagia, dan tidak merasa sakit. Pasti terasa di surga.
344. Nenek
Mulai bersilat lidah. Bukankah kita sejak tadi tidak berajak kemana-mana. Sejak tadi, sejak kemarin, sejak kemarin lusa, sejak kemarin-marin, sejak seminggu, sejak sebulan, sejak setahun, sejak sewindu, sejak seabad-abad yang lalu, kita sudah berada disini. Baru beberapa detik yang lalu kita bersetubuh. Lalu engkau mengerang-ngerang karena rasa punggungmu seperti tertusuk-tusuk jarum suntik. Apakah ini surga? Kalau ini neraka saya percaya! Dasar pikun.
345. Lanang
Saya ngomong sebenarnya, saya tadi melihat dua orang tua. Saya tidak bohong. Kalau bohong buat apa saya katakan. Di surga tidak ada kata-kata bohong?
346. Wedok
Mulai bersilat lidah. Bukankah kita sejak tadi tidak berajak kemana-mana. Sejak tadi, sejak kemarin, sejak kemarin lusa, sejak kemarin-marin, sejak seminggu, sejak sebulan, sejak setahun, sejak sewindu, sejak seabad-abad yang lalu, kita bersama-sama. Terluka-luka. Berduka-duka. Bersuka-suka. Apakah kita pernah beranjak dari semua yang telah kita rasakan bersama. Apakah kita telah benar-benar menemukan bapak ibu kita. Kalau sudah, berarti kita benar di surga? Jangan-jangan rasa sakit yang telah berabad-abad ini terasa kita menjadi kenikamatan yang ektase. Apakah kita telah lupa dengan rasa sakit?
347. Lanang
Stoop…jangan kita melupakan rasa sakit. Rasa sakit membuat kita bisa merasakan kebahagiaan. Barangkali beginilah kenikmatan yang harus kita tempuh. Barangkali inilah surga?
348. Kakek
Ini memang bukan surga. Kalau di surga, tidak ada orang secerewet kamu. Sudah aku bilang, saya telah beralayar dengan dua anak yang terluka. Dia seperti saya ketika waktu muda, atau waktu kecil, atau waktu masih bayi. Saya merasakannya. Saya menggigil ketika dia menyebut saya bapak. Jangan mereka benar-benar anak kita.
349. Nenek
Mereka anak kita? Apakah disini neraka atau surga? Saya tetap tidak mengerti. Saya tidak bisa menduga-duga. Mengapa tiba-tiba saya terasa pikun?
350. Kakek
Sudah ku bilang….bahwa sebenarnya kita di neraka. Kita sudah pikun. Kita tidak pernah merasakan kebahagiaan lahir batin. Inilah waktu senjakala. Waktu malaikat maut itu mendekati kita, membisikan kata-kata yang membuat jantung kita terputus, organ-organ kita terlepas berhamburan, melayang-layang menjadi rebutan milyaran bakteri. Dan kita mati!
351. Wedok
Apakah kita sudah mati? Kita berada di surga? Mengapa kita mengatakan sedang di surga, kalau rasa sakit masih bisa menjemput kita. Ini bukan surga dan barangkali juga bukan neraka!
352. Lanang
Lalu dimana kita?
353. Nenek
Kita di kuburan?
354. Kakek
Di jagad maha luas. Jagad yang tiada batas oleh ruang dan waktu.
355. Wedok
Di jagad maha luas. Jagad yang tiada batas oleh ruang dan waktu.
356. Koor
Wooow…luas sekali.
357. Koor
Wooow..luuuuaaaasss sekaaaaallliiii…..

(Mereka beterbangan bagai burung-burung, menggapai angkasa. Bermain-main dengan matahari. Bermain dengan bulan. Bermain petak umpet di bailik awan. Berloncat-loncatan dari bintang ke bintang. Semua dilakukannya dengan perasaan riang gembira. Mereka tertawa-tawa. Mereka bernyanyi-nyanyi. Memetik rintik-rintik hujan. Melupakan keluh kesah.)

358. Kakek
Say, aku merasakan bahagia.
359. Nenek
Saya, aku merasakan bahagia.
360. Lanang
Dinda, aku merasakan bahagia sekali.
361. Wedok
Kanda, aku juga merasakan hal yang sama.
362. Kakek
Ternyata surga tidak ada dimana-mana. Surga ada dalam diri kita sendiri-sendiri. Surga kita rasakan ketika kita merasakan kelapangan dada menerima segala yang dicobakan pada kita. Say, aku merasa bahagia. Karena kini aku tahu, senjakala itu adalah kebahagian yang menjemput. Ia bukan maut yang kita takutkan selama ini. Terompet itu, adalah musik surgawi yang dimainkan para malaikat, untuk menjemput para kafilah yang pulang setelah menempuh perjalanan maha lama dan menyakitkan. Say, aku merasa bahagia sekali. Say, apakah kau juga bahagia?
363. Nenek
Say, aku bahagia. Aku bahagia, meski aku tidak tahu, apa yang sedang aku rasakan. Apakah saya bahagia, atau saya merasa sedih. Aku telah berlapang dada. Kebahagiaan dan rasa sakit telah aku terima dengan lapang dada. Tetapi aku seperti tidak bahagia. Aku tidak mengerti. Sepertinya dalam diriku masih ada kabut. Kabut itu begitu menyesakan dada. Apakah ini yang disebut sebuah keniscayaan….?
364. Lanang
Dinda, kini aku tidak menyesal. Kita telah menuju alam untuk menuju ke alam yang lain. Penderitaan ini adalah untuk menuju kebahagiaan sejati. Meski tubuh kita telah terluka-luka, aku masih percaya bahwa kebahagian tidak bisa terluka. Aku bahagia dinda, meski perjalanan ini masih teramat panjang dan luka-luka kita masih terus menganga.
365. Wedok
Aku bahagia. Meski dalam perjalanan ini kita terluka-luka. Hatiku kini lapang menerimanya. Barangkali ini adalah titik awal untuk menuju kebahagiaan sejati. Dadaku terasa lapang sekali menerima nasib seperti ini. Itulah yang membuatku tidak merasa cemas lagi. Saya bahagia sekali kanda, meski kita adalah anak haram jadah.
366. Kakek
Say, kau jangan ragu-ragu menerima kenyataan ini. Ini bukan keniscayaan. Tapi kenyataan. Percayalah keniscayaan itu pasti akan segera menjadi realitas yang membahagiakan. Kita jangan terlalu takut dengan mimpi tua kita. Meski senjakala telah menjemput, kita harus tetap tersenyum dari rasa sakit yang tak bisa terobati selain dengan rasa bahagia itu.
367. Nenek
Ada kalanya kau berkata jujur dan pintar, sayangku. Itulah yang membuat aku semakin tak bisa meninggalkanmu dalam penderitaan ini.
368. Kakek
Ah, kau jangan merajuk lagi. Kalau ada maunya kau pasti memujiku seperti itu.
369. Nenek
Kamu mulai meledek. Begitulah kamu masih saja egois. (diam seribu kata wajahnya tampak suntrut)
370. Kakek
Waduh…ngondokan…Hei, kalau kamu marah tambah kelihatan cantikmu. Sayang cantik-cantik kumisan…ha ha..ha..ha ha….
371. Nenek
Hik..hik..s…say! (tertawa manja) ini aku serius. Kau jangan begitu….
372. Kakek
Tak ting tung-tak ting tung….hulik hulik…hulik. Gitu aja marah…eit…mbok jangan serius begitu. Hi hi hi….Ayo. aku tahu maksudmu…camon..say!
373. Nenek
(malu-malu) Tidak! Aku di sini saja. Kamu sudah loyo begitu…
374. Kakek
Lo..lo..lo, meremehkan. Saya tadi sudah minum ramuan tangkur dinosaurus dicampur kaki gajah, direndam dalam darah macan kemudian di jus dengan daging kuda…kok. Ayo…mumpung tidak ada orang!

(Musik romantis. Lampu tipis sekali. Terdengar suara tangisan)

375. Lanang
Apakah kau mendengar tangisan.
376. Wedok
Ya…saya mendengarnya.
377. Lanang
Seperti suara tangis kita ya…?
378. Wedok
Ya…saya juga merasakan begitu. Tapi dimana suara itu?
379. Lanang
Terasa dekat sekali ya?
380. Wedok
Betul..itu suara ku. Seperti menangis pilu. Tapi kok seperti nenek-nenek ya?
381. Lanang
Betul…suara itu dalam dada.. atau dalam tubuhku ini…ia menangis. Ia seperti suaraku. Tapi kok seperti kakek-kakek ya…?
382. Wedok
Jangan-jangan ia ibu yang kita cari?
383. Lanang
Jangan-jangan ia bapak yang kita cari?
384. Wedok
Kenapa mereka menangis dalam tubuh kita?
385. Lanang
Aku mengerti sekarang. Yang kita cari sudah ketemu. Kita sudah menemukan ibu dan bapak kita. Mereka ternyata mengeram dalam sanubari kita. Meski kita tidak tahu dimana mereka.
386. Wedok
Jadi, kita adalah orang tua kita sendiri? Aku ibu dan kau adalah bapak?
387. Lanang
Ya kita adalah orang tua diri kita sendiri.
388. Wedok
Aku tidak mengerti…mengapa jadi begini. Aku pingin tahu mereka ada. Mereka nyata ada di depan mataku…
389. Lanang
Percuma…kita lakoni saja, lakon hidup seperti ini. Bukankah kita telah berjanji, akan menerima semua apa yang terjadi apa yang harus terjadi dan menimpa kita. Kini anggaplah, aku bapakmu dan kau ibuku.
390. Wedok
Kau akan berjanji bersamaku sampai kita mati nanti…?
391. Lanang
Percayalah. Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Ibu!
392. Wedok
Mari, Bapak!

(Mereka bergerak berpusingan seperti taupan)

393. Kakek
Say, dadaku bergemeruh, ketika menyentuh tubuhmu…
394. Nenek
begitulah kau. Belum apa-apa pasti sudah KO…
395. Kakek
Bukan begitu, maksudku, aku merasakangetaran yang aneh dalam tubuhku. Aku merasakan kau adalah anakmu…!
396. Nenek
Anakmu?
397. Kakek
Begitulah sebenarnya. Kata hatiku, kau adalah anakku dan aku adalah anakmu jua…!
398. Nenek
Jadi kita adalah anak dari diri kita sendiri?
399. Kakek
Tiba-tiba, aku merakan begitu. Barangkali ini jalan terbaik dan terindah untuk melupakan kesendirian kita. Anggaplah aku anakmu dan kau anakku.
400. Nenek
(diam terpaku, seperti belum percaya dengan kata-kata Kakek). Begitu mudahkan kita menyimpulkan arti kesunyian, arti kesepian, arti kesendirian, arti semua penderitaan yang telah kita tempu berjuta lamanya? Aku masih belum bisa menerima…
401. Kakek
Anakku, pada suatu hari nanti, kamu pasti menerimanya. Karena ksunyian ini hanya kita yang bisa mebuatnya menjadi kegaduhan. Dan anak-anak kitalah yang membuat waktu menjadi terpecah belah. Kita meski menyatu, bahwa anak-anak kita ada dalam diri kita. Bukankah kau pingin punya anak?
402. Nenek
(Mengangguk. Tak terasa air matanya meleleh)
403. Kakek
Jangan menangis. Mari bermain lagi anakku? Kita lupakan kesedihan ini dengan bermain-main. Kamu mau aku maikan apa? Burung terbang? Atau aku bernyanyi…? Boleh aku bernyanyi? Apa membaca syair? Baiklah aku akan membaca syair, untuk menghibur anakku.

(Kakek membaca syair sekenanya, sampai nenek tertawa terpingkal-pingkal melihat polah tingkah kakek yang lucu saat membaca syair. Sementara tirai putih perlahan-lahan turun. Lampu-lampu gedung kembali dinyalakan. Senja memerah, pertanda malam akan menjelang)

Surabaya, Desember 2003
(Naskah ini aku persembahkan pada istriku tercinta, sahabatku di Ngawi dan teman teman teater Institut Unesa)

Naskah : Sang Mandor

“Sang Mandor”
Karya : Rahman Arge
Sutradara: Heru subagiyo
Supervisi: Eko “Ompong” Santosa
Susannah Day




Pemain :

Sang Mandor
Istri Mandor
Juki
Uduk
Poke
Rimba








SANG MANDOR : MEROKOK, MELAMUN, BATUK-BATUK.

Kapal-kapal datang dan pergi. Dan aku Cuma disini.

TERDENGAR PELUIT KAPAL.

Inikah akhir riwayatku?
Sebagai Mandor? Sebagai Ayah? Sebagai Suami? Sebagai Laki-laki? Sebagai...Manusia?

BATUK-BATUK. IA BERUSAHA MELAWAN REMATIKNYA. IA MERANGKAK, MENCOBA BERGERAK KE JENDELA. MEMANDANG KELUAR. MASUK MULLI. ISTERI MANDOR.

ISTERI SANG MANDOR : MELETAKKAN GELAS BERISI AIR PUTIH DI MEJA.

Pak, saatnya minum obat. Jangan dekat-dekat jendela. Disitu banyak angin. Astaga, Bagaimana kau bisa sampai disitu?

SANG MANDOR : Berapa kali dalam sehari-semalam aku
harus mendengar kata itu? Jangan!
Jangan! Jangan ini!
Jangan Itu!

ISTERI SANG MANDOR : Di situ banyak angin, pak.

SANG MANDOR : Kayak anak balita saja. Dituntun-tuntun.

ISTERI SANG MANDOR : Obatnya, Pak.

SANG MANDOR : BERTERIAK. Ya.

ISTERI SANG MANDOR : Sekarang.

SANG MANDOR : Iya.

ISTERI SANG MANDOR : Minum sekarang!

SANG MANDOR : Iya, iya, iya!

ISTERI SANG MANDOR : Obatnya saya bawa kesitu, atau, Bapak
yang saya
bawa kesini?.

SANG MANDOR : DIAM. MATANYA MENYALA. BATUK-BATUK.

Inikah akhir riwayatku?.

ISTERI SANG MANDOR : MENDEKATI MANDOR. MENCOBA MEMBANTUNYA
KE KURSI.

Ayolah, Pak. Saya bantu.

SANG MANDOR : MELEDAK

Jauh kau, Perempuan! Jangan Mendekat. Aku laki-laki. Aku mandor. Aku mampu bergerak sendiri.

MENCOBA BERGERAK KE KURSI, TETAPI SANGAT PAYAH.

Lautan luas aku jelajahi.

IA TERJATUH. SUSAH PAYAH IA BANGKIT.

Aku kenal kapal-kapal. Begitu banyak kapal...

IA KERINGATAN. IA BATUK-BATUK.

Aku akrab dengan pelabuhan-pelabuhan. Begitu banyak pelabuhan...

IA MENGERANG. REMATIKNYA NGAMUK.

Aku bersahabat dengan begitu banyak bangsa. Laki-laki... Perempuan...

TUBUHNYA TERHEMPAS KE LANTAI.

ISTERI SANG MANDOR : MELOMPAT UNTUK MENOLONG, TETAPI SEGERA
UNDUR MENDENGAR HARDIKAN SANG MANDOR.

SANG MANDOR : Jangan dekat! Jangan!

DENGAN TENAGA TERAKHIR IA BANGKAIT. IA MEMANDANG KEKURSI DENGAN MATA MENYALA.

Telah kuarungi laut sampai Benua eropa. Kutaklukkan badai sebesar apapun. Para jagoan mencium lututku. Lalu... lalu hanya untuk sampai ke kursi itu, aku harus kalah, hah...?

IA ROBOH.

ISTERI SANG MANDOR : BERGEGAS AKAN MENOLONG.

Semua tak ada yang langgeng, pak. Sadarlah. Tak ada orang bisa hidup tanpa uluran tangan orang lain. Lebih-lebih disaat kita sakit. Orang-orang. Siapapun ia, Masing-masing berangkat tua, Sakit-sakitan, Kesepian...

SANG MANDOR : Siapa bilang aku kesepian?

ISTERI SANG MANDOR : Tidak. Engkau tidak kesepian. Aku ada.

SANG MANDOR : Aku tidak kesepian bukan karena kau ada, Perempuan! Kau ada atau tidak ada, aku tidak kesepian. Aku tahu mengurus diriku sendiri, tanpa siapa-siapa...

ISRTERI SANG MANDOR : BANGKIT MENEKAN EMOSI.

Ayo, laki-laki! Hiduplah sendiri! Uruslah dirimu! Raihlah kursi itu! Letaknya hanya beberapa meter. Capailah! Tuan Mandor besar!

SANG MANDOR : Diam! Diam! Diam!

ISTERI SANG MANDOR : Aku tak akan diam! Sepanjang hidupku tak pernah tidak kau koyak-koyak hatiku. Sejak dulu, Sampai kini.

MERATAP SEDIH

Kehadiranku di sampingmu tidak pernah kau anggap. Tak pernah kau hargai. Bagimu, Aku ternyata tak pernah ada. Tak pernah kau hitung, bahwa aku juga manusia.

MELEDAK LAGI

Ayo! Merangkaklah! Merangkaklah engkau seorang diri ke kursi itu! Rebut! Rebut! Rebut kursi itu dengan keangkuhanmu!.

KEPEDIHAN BERCAMPUR KEJENGKELAN

Begitu banyak pelabuhan. Begitu banyak negeri. Begitu banyak perempuan. Nah mana semua itu? Mana? Mana? Mana, Tuan Mandor?

JUKI : MASUK TERGESA-GASA. MENENANGKAN KEDUA ORANG TUANYA.

Saya tidak mengerti, sampai kapan ayah adan ibu bisa rukun? Sampai kapan hari tua kalian dibiarkan begini terus? Kapan bisa menikmati ketenangan? Rasa tenteram? Kebahagiaan? Kedamaian?

SANG MANDOR : Sampai kapan, kau anak kecil, bisa berhenti berkothbah didepan saya?

JUKI : Kerukunan? Keseiyasekataan?

SANG MANDOR : Kothbah. Hentikan.

JUKI : MENINGKAT.

Kasih sayang? Harga-Menghargai? Hormat-Menghormati? Toleransi? Sipotau? Siamasei?

SANG MANDOR : Hentikan!

JUKI : tepo seliro?

SANG MANDOR : Stop kataku!

JUKI : Cinta-mencintai?

SANG MANDOR : Berhentiiiiii?!

BATUK-BATUK. AMAT MARAH. DIAM.

ISTERI SANG MANDOR : MENCOBA MENOLONG SUAMINYA.

Dengan meledak-ledak begini, Pak, Nafasmu bisa habis. Apa yang dikatakan anakmu, Juki, memang benar. Kita hampir-hampir tak punya lagi waktu merasakan nikmat yang diberi Tuhan. Sadarlah. Sadar... Istighfar pak!

SANG MANDOR : Aaaah...! Aku tahu apa yang tersembunyi di balik nasihat-nasihat Juki. Saban ia datang berkothbah disini, pasti ada apa-apanya. Pasti ada maksudnya...

ISTERI SANG MANDOR : MENATAP LEMBUT ANAKNYA.

Betulkah itu, Juki?

JUKI : DIAM SEJENAK

Iya. Iya, bu.

SANG MANDOR : Dan pasti, bagiku, itu kabar buruk.

ISTERI SANG MANDOR : Apa itu Juki?

JUKI : Saya, Saya, Habis,kawin, Bu.

ISTERI SANG MANDOR : Astagfirullah...

JUKI : Sempurnalah, Bu, Aku sebagai Laki-laki.

SANG MANDOR : Artinya, ini istrimu yang keempat toch?

JUKI : Empat sempurna, Pak. Saya sekedar mengulangi riwayat besar bapak.

SANG MANDOR : Setttan!.

JUKI : Maaf, Pak, satu Perahu Bapak terpaksa saya jual untuk ongkos kawin dan kontrak rumah.

SANG MANDOR : ROBOH, PINGSAN.

ISTERI SANG MANDOR : Tolong...tolong...tolong...

MASUK POKE , UDUK, DAN RIMBA. MEREKA RAMAI-RAMAI MAU MEMBANTU SANG MANDOR DARI PINGSANNYA, TAPI SEBELUM MEREKA SEMPAT MENYENTUH TUBUH SANG MANDOR, SANG MANDOR BANGUN.

POKE : Ini saya, Pak. Saya Poke. Anak bapak.

UDUK : Dan saya Uduk. Kami siap membantu Bapak. Kapan saja, Dan dimana saja, saya anak Ketiga

RIMBA : Saya Rrrimba. Orang kepercayaan Bapak untuk Mendampingi Uduk. Juga kapan Dan dimana saja.

SANG MANDOR : Kenapa saya?

JUKI : Bapak tadi pingsan.

POKE : Ramai-ramai kami mau menolong bapak, tapi baru kami mendekat, Bapak sudah keburu sadar. Bangun.

UDUK : Seandainya bapak masih pingsan, tentu kami sudah bergotong royong mengangkat bapak ke tempat pembaringan dan...

POKE : MEMOTONG

Dan merasakan betapa hangatnya kasih sayang kami, Anak-anak bapak ini, kepada orang tu...

RIMBA : Dan sekalipun saya, Rrrrimba, hanya orang kepercayaan, tak kurang kasih sayang saya kepada bapak. Hmm.. Saya boleh dibilang, yaa, sudah keluarga bapak jugalah begitu.

SANG MANDOR : BATUK-BATUK

Betulkah tadi saya pingsan?

SEMUA : BEREBUT

Betul...betul...betul.....Pak........

SANG MANDOR : MENATAP SATU DEMI SATU.

Tahukah kalian pertanda apa itu??

SEMUA : SALING MEMANDANG. BINGUNG]

Tid...tidak...tidak...tidak...pak...
SANG MANDOR : Nah, itu pertanda, dalam pingsanpun aku harus bisa mandiri.

POKE : Tapi, maaf, pak; Mengapa bapak duduk dilantai?

UDUK : Ya, Mengapa bukan dikursi?

RIMBA : Atau diranjang?

JUKI : MENATAP YANG LAIN.

Ayo kita ramai-ramai tolong bapak ke kursi.

SANG MANDOR : BERTERIAK

Jangan!

SEMUA BINGUNG DITATAP SANG MANDOR

SANGAT LEMBUT.

Uduk, Bagaimana rencana yang pernah kau bilang? Kau jadi Berlayar? Menjadi Kelasi dan berjuang sampai bisa jadi mandor?

UDUK : SERIUS.

Ya,Seperti bapak. Sayalah yang bersedia menggantikan Bapak, Mengukir riwayat besar dilautan, Seperti bapak.

RIMBA : Dan sebagai orang kepercayaan bapak, saya, Rrrimba, Akan ikut Uduk, Mempertaruhkan nasib bersama, Sehidup Semati.

UDUK : Inilah anak Laki-laki Sang Pemberani, Titisan darah sang penakluk lautan, Yang tak pernah Gentar Sampai sekarang. Jika layar sudah terkembang,Lebih baik mati di dasar Laut daripada balik ke pantai

RIMBA : Dan sebagai orang kepercayaan bapak, Saya, Rrrimba Yang ditugaskan menjadi centeng bagi Keselamatan Uduk...

MENDEKATI MANDOR
Saya selalu memompakan kedalam Jiwa anak ini, jurus “Main Kayu Sembunyi Tangan!” Pukul dulu baru berfikir!

UDUK : GERAK-GERIK CONGKAK

Dan Atas nama jurus “Main Kayu Sembunyi Tangan!”, Atas nama prinsip pukul dulu baru pikir, aku Uduk, putera ketiga sang pemberani,sang penakluk, yang namanya melampaui luas dan dalamnya lautan, dengan ini berjanji, akan melestarikan kebesaran dan keagungan Ayahanda.

RIMBA : Dan sebagai orang Kepercayaan Bapak, say Rrrim...

SANG MANDOR : Berhentiiiiii!

SEMUA JADI PATUNG.

Kata-kata! Selautan kata-kata kepalaku bengkak, perutku buncit, tubuhku serasa akan meledak oleh kata-kata kalian! Mulai dari anak pertama, Juki, banyak kata-katanya, tapi buntutnya itu... Aku pingsan dibuatnya.

UDUK : MENDEKATI MANDOR SELEMBUT MUNGKIN.

Keterlaluan Juki. Dialah penyebab...

POKE : Ya, Betul-betul keterlaluan. Jadi dialah penyebab pingsannya bapak?

JUKI : Hoe, jangan ikut campur! Itu urusan kami berdua!

UDUK : Saya juga anaknya. Saya wajib membela ayah saya. Saya tidak mau beliau cedera! Apalagi pingsan!

POKE : Jadi kau, Juki ; Kau yang menjadi sebab ayah tadi pingsan? Sampai hati kau, ha?! Kita, ya, terutama aku, aku yang selalu berusaha keras menjaga ayah, tahu-tahu kecolongan oleh orang dalam rumah sendiri. Tega nian! Sampai hati kamu!

MENGAYUNKAN TINJU KE JUKI

UDUK : MELOMPAT DIANTARA KEDUANYA DENGAN SIKAP TEMPUR.

Poke, ini tugas saya. Sayalah yang pantas mambela ayah, membalas sakit hati ayah karena dibikin pingsan oleh anaknya sendiri.Oleh juki...

KETIGANYA BAKU HANTAM , MEMUKUL DAN DIPUKUL, TERKAM-MENERKAM , BERGULING-GULING.

ISTRI SANG MANDOR : PANIK, MENANGIS MENJERIT-JERIT.
Sudah, anak-anakku, sudah... sudah... sudah... nak
...!

MELERAI, DAN TAK AYAL LAGI IKUT TERGULING-GULING.

SANG MANDOR : BERTERIAK.
Berhenti... Berhenti...
RIMBA : MEMATUNG MELONGGO

SANG MANDOR : Rimba, kenapa diam seperti tiang kapal di situ? Buktikan bahwa kamu bukan cuma jago berkata-kata! Buktikan! Buktikan! Pisahkan mereka... Pisahkan!
RIMBA : PUCAT TERSIPU-SIPU.
Ma... maaf... maaf, Daeng. Ini tidak termasuk dalam jurus persilatan saya...

SANG MANDOR : Setttan kau!
Berhenti...!

ORANG-ORANG YANG BERGULING-GULING ITU SPONTAN BERHENTI. TAMPAK JELAS KEEMPATNYA SEAKAN KENA SAMBAR ALIRSAN LISTRIK YANG AMAT KERAS MENDENGAR TERIAKAN SANG MANDOR. MEREKA TERPAKU HERAN , MEMANDANG SOSOK SANG MANDOR BERDIRI TEGAK DI ATAS LANTAI ,SEAKAN TERIAKAN LUAR BIASA ITU MEMBUAT LARI PONTANG-PANTING PENYAKIT LUMPUHNYA.

ISTRI SANG MANDOR : TERHARU , TAK DAPAT MENAHAN DIRI KARENA GEMBIRA MELIHAT SANG MANDOR TEGAK.
Daeng, Daengku... engkau mampu mengatasi lumpuhmu. Aku, aku merasakan diriku tegak berdiri di pelabuhan, di tepi dermaga , melambaikan sapu tangan ketika kapalmu bertolak... Aku memandang tubuhmu yang perkasa, kau senyum padaku...

MENDEKATI SANG MANDOR.

Aku ingin sekali menyetuhmu, Daeng...

SANG MANDOR : Jangan mendekat...

MENATAP ANAK-ANAKNYA.
Sudah kukatakan, dalam pingsan aun aku harus mandiri.
Apalagi kini. Rasanya aku segar sekali.

MENATAP UDUK.
Nah , Uduk. Katakanlah rencanamu. Langsung, tanpa bung-bunga kata. Tanpa pengakuan-pengakuan besar. Bahkan tanpa pergumulan...
Ayo...
Uduk..

UDUK : BINGUNG TETAPI KEMUDIAN MENEMUKAN KEBERANIAANYA.

Berkat ajaran ayah, sayapun akan segera melaksanakan rencanaku menjadi mandor pelaut. Tentu mulai dari bawah, sebagai kelasi.

SANG MANDOR : Bagus.

UDUK : Karena itu, sebagai bekal, perahu ayah... telah...

SANG MANDOR : Kau jual toch?!

UDUK : Iya, ayah; dan....

SANG MANDOR : Cukup! Mestinya inilah pingsanku yang kedua. Terbanglah semua perahuku !

MENAHAN GONCANGAN DALAM DIRINYA. DIA BERHASIL, MASIH BERDIRI TEGAK.

Juki, Uduk ; Perkelahian kalian untuk membela ayah,
ternyata buntutnya memukul saya juga. Perahu saya Cuma
dua. Dua-duanya sudah melayang...

POKE : Ayah, tapi ayah jangan terlalu bersedih,sebab saya telah membeli perahu untuk ayah.

SANG MANDOR : MEMANDANG TAKJUB PADA POKE.
Ternyata putra keduaku,Satu-satunya bibit paling unggul. Tapi... bagaimana caranya sampai kau bisa membeli perahu,poke?

POKE : Ya, sebagai orang dagang saya ini harus pintar-pintar bahkan harus lihai memindahkan-mindahkan barang supaya untung.

SANG MANDOR : Artinya...?

POKE : Saya harus ada modal beli barang dagangan.Maka sawah dan empang milik ayah,maaf, sudah saya jual ...

SANG MANDOR : BERUSAHA MENAHAN GONCANGAN YANG SEMAKIN KERAS DALAM DIRINYA.

Mestinya inilah pingsanku yang kedua tambah setengah.mulanya perahu kini sawah... empang... terus...?

DIAM LAGI.
Pergilah. Kini, aku tak punya apa-apa lagi kecuali satu kalimat:
Jangan lagi menadahkan tangan kecuali kepada tuhan

JUKI,POKE,UDUK,RIMBA,MENGHILANG DIPINTU.SANG MANDOR MENATAP LEMBUT PADA ISTRINYA YANG TERDUDUK DILANTAI SAMBIL MENUTUP WAJAH

Mulli,bangkitlah engkau... dan lihat aku telah disini... di kursi ini.

ISTRI SANG MANDOR : MENGANGKAT KEPALA IA MERASA SEPERTI TERBANG MELIHAT SUAMINYA BERHASIL MENDUDUKI KURSINYA.
Daeng Gassing, suamiku ... Engkau berhasil merebut kursimu dan...mendudukinya. Engkau berhasil! Ya Tuhan...

MEMELUK SUAMINYA.

Engkau telah merebut kembali lautmu,pelabuhanmu-pelabuhanmu, kapal-kapalmu, pengembaraanmu...

SANG MANDOR : Ya dalam diri engkeu... Dalam diri anak-anakku ...

MEMANDANG KE ATAS SAMBIL MENGELUS RAMBUT ISTRINYA, IA SEPERTI BERBISIK KEPADA SESUATU DI ATAS SANA.

Tuhan

Terima kasih.

Makasar, 9 Agustus 1992
(FS)

Naskah : Pagi Bening


Pagi Bening


Drama Komedi Satu Babak
Karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero
Terjemahan Drs. Sapardi Joko Damono
© 2006


P a g i B e n i n g
( Drama Komedi Satu Babak dari tanah Spanyol )
Karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero
Terjemahan Drs. Sapardi Joko Damono


T e m p a t K e j a d i a n
Madrid – Spanyol
Di suatu tempat – Taman terbuka
Di jaman ini juga


P e m a i n
Donna Laura
Wanita tua, berumur kira-kira 70 tahun
Masih nampak jelas bahwa dulunya cantik dan tindak tanduknya menunjukkan bahwa mentalnya juga baik.
Don Gonzalo
Lelaki tua, berumur kira-kira 70 tahun lebih
Agak congkak dan selalu tampak tidak sabaran
Petra
Gadis pembantu Laura
Juanito
Pemuda pembantu Gonzalo









( DONNA LAURA MASUK, BERPEGANGAN TANGAN PADA PETRA. TANGANNYA YAN LAIN MEMBAWA PAYUNG YANG JUGA UNTUK TONGKATNYA )

LAURA : Aku selalu merasa gembira sekali di sini. Syukur bangkuku tidak ditempati orang lain. Duhai, pagi yang cerah! Cerah sekali.

PETRA : Tapi matahari agak panas, Senora.

LAURA : Ya, kau masih duapuluh tahun (ia duduk di bangku belakang). Aku merasa lebih letih dari biasanya (melihat petra yang nampak tak sabaR), pergilah kalau kau ingin ngobrol dengan tukang kebunmu itu!

PETRA : Dia bukan tukang kebunku, Senora, dia tukang kebun taman ini!

LAURA : Ia lebih tepat disebut milikmu daripada milik taman ini. Cari saja dia. Tapi jangan sampai terlalu jauh hingga tak kau dengar panggilanku.

PETRA : Saya sudah melihatnya di sana, menanti.

LAURA : Pergilah, tapi jangan lebih dari sepuluh menit!

PETRA : Baik, Senora (berjalan ke kanan)

LAURA : Hei, nanti dulu!

PETRA : Ada apa lagi, Senora?

LAURA : Berikan remah-remah roti itu!

PETRA : Ah, pelupa benar aku ini!

LAURA : (senyum) Aku tahu! Pikiranmu sudah lekat ke sana, heh, si tukang kebun itu!

PETRA : Ini, Senora (mengeluarkan bungkusan roti. Keluar ke kanan)

LAURA : Adios! (memandang ke arah pepohonan). Ha, mereka datang. Mereka tahu kapan mesti datang menemui aku (bangkit dan menyerahkan remah-remah roti). Ini buat yang putih, ini untuk yang coklat, dan ini untuk yang paling kecil tapi kenes. (tertawa dan duduk lagi memandang merpati yang sedang makan). Ah, merpati-merpati yang manis. Itu yang besar mesti lebih dulu, kentara dari kepalanya yang besar, dan itu ... aduh , kenes benar. Hai, yang satu itu selesai mematuk terus terbang ke dahan. Bersunyi diri. Agaknya ia suka berfilsafat. Tapi dari mana saja mereka ini datang? Seperti kabar angin saja! Meluas dengan mudah. Ha, ha, jangan bertengkar. Masih banyak. Besok kubawakan yang lebih banyak lagi!
(don gonzalo dan juanito masuk dari kiri. Gonzalo bergantung sedikit pada juanito. Kakinya bengkak, agak di seret)

GONZALO : Membuang-buang waktu melulu! Mereka itu suka benar bicara yang bukan-bukan.

JUANITO : Duduk di sini sajalah, senior. Hanya ada seorang wanita.
(dona laura menengok dan mendengarkan)

GONZALO : Tidak, Juanito. Aku mau tersendiri.

JUANITO : Tapi tak ada .

GONZALO : Yang di sana itu kan milikku!

JUANITO : Tiga orang pendeta duduk di sana, Senior!

GONZALO : Singkirkan saja mereka! ... ... ... Sudah pergi!

JUANITO : Tentu saja belum! Mereka tengah bercakap-cakap.

GONZALO : Seperti merekat pada bangku saja mereka itu! Heh, tak ada harapan lagi, Juanito. Mari!

JUANITO : (menggandeng ke arah merpati-merpati)

LAURA : (marah). Awas hati-hati!

GONZALO : Apa Senora berbicara dengan saya?

LAURA : Ya, dengan tuan!

GONZALO : Ada apa?

LAURA : Tuan menakut-nakuti burung-burung merpati saya!

GONZALO : Peduli apa burung-burung itu!

LAURA : Apa, ha?

GONZALO : Ini taman umum, Senora!

LAURA : Tapi kenapa tadi tuan mengutuki pendeta-pendeta di sana itu?

GONZALO : Senora, tapi kita belum pernah jumpa! Dan kenapa tadi Senora menegur saya? Ayo, juanito! (melangkah ke kanan)

LAURA : Buruk amat perangai si tuan itu! Kenapa orang mesti jadi tolol dan pandir kalau sudah meningkat tua? (melihat ke kanan). Syukur. Ia tidak mendapat bangku! Itu, orang yang menakut-nakuti merpati-merpatiku. Ha, ia marah-marah. Ya, ayo, carilah bangku kalau kau dapat! Aduh, kasihan, ia menyeka keringat di dahi. Nah, itu dia kemari lagi. Debu-debu mengepul seperti kereta lewat! (juanito dan gonzalo masuk)

GONZALO : Apa sudah pergi pendeta-pendeta yang ngobrol itu, Juan?

JUANITO : Tentu saja belum, Senior?

GONZALO : Walikota seharusnya lebih banyak menaruh bangku-bangku di sini! Terpaksa juga aku kini duduk bersama wanita tua itu!
(ia duduk di ujung bangku,memandang dengan iri kepada laura, dan memberi hormat dengan mengangkat topi). Selamat pagi.

LAURA : Jadi tuan di sini lagi?

GONZALO : Ku ulang lagi, kita kan belum pernah jumpa!

LAURA : Saya toh cuma membalas salam tuan!

GONZALO : “Selamat Pagi”, mestinya cukup dibalas dengan “selamat pagi” saja.

LAURA : Tapi tuan seharusnya juga minta ijin untuk duduk di bangku saya ini.

GONZALO : Ahai, bangku ini kan milik umum!

LAURA : Kenapa bangku yang di san itu juga tuan katakan milik tuan, hah?

GONZALO : Baik, baik! Sekian sajalah!
( pada dirinya sendiri ) Dasar perempuan tua! Patutnya dia di rumah saja, merenda atau menghitung tasbih.

LAURA : Jangan mengoceh lagi. Aku juga tokh, tak akan pergi untuk sekedar menyenangkan hatimu!

GONZALO : (mengelap sepatunya dengan sapu tangan). Kalau disiram air sedikit tentu lebih baik. Tak berdebu lagi jadinya taman ini.

LAURA : Apa tuan biasa menggunakan saputangan sebagai lap?

GONZALO : Kenapa tidak?!

LAURA : Apa tuan juga menggunakan lap sebagai sapu tangan?

GONZALO : Hah? Nyonya kan tak punya hak untuk mengeritik saya!

LAURA : Toh sekarang saya ini tetangga tuan!

GONZALO : Juanito! Buku! Bosan mendengarkan nonsense macam itu!

LAURA : Alangkah sopan santun tuan ini!

GONZALO : Maaf saja nyonya. Tapi saya mengharap nyonya tidak bernapsu campur tangan urusan orang lain!

LAURA : Saya memang biasa melahirkan pikiran-pikiran saya.

GONZALO : Hhh, Juanito! Buku!

JUANITO : Ini, tuan! (mengambil buku dari kantong, don gonzalo memandang dengki pada laura; gonzalo mengeluarkan kaca pembesar dan kacamata: membuka buku)

LAURA : Oh, saya kira tuan mengeluarkan teleskop.

GONZALO : Nyonya bicara lagi!

LAURA : Tentunya penglihatan tuan masih baik sekali!!

GONZALO : Jauh lebih baik dari penglihatan nyonya!

LAURA : Ahai, tentu saja!

GONZALO : Kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada kelinci-kelinci dan burung-burung.

LAURA : Artinya tuan suka berburu kelinci dan burung?

GONZALO : Saya pemburu memang. Dan sekarang pun saya tengah berburu.

LAURA : Ya, tentunya! Begitulah!

GONZALO : Ya, Senora. Tiap Minggu saya menyandang bedil bersama anjing saya pergi ke Arazaca. Iseng-iseng berburu! Membunuh waktu!

LAURA : Ya, membunuh waktu! Apa hanya waktu saja bisa tuan bunuh?

GONZALO : Nyonya kira begitu? Saya bisa menunjukkan kepala beruang besar dikamar saya!

LAURA : Dan saya juga bisa menunjukkan kepala singa di kamar tamu saya, meskipun saya bukan pemburu!

GONZALO : Sudahlah nyonya, sudah! Saya mau membaca. Percakapan cukup! Ngomong putus!

LAURA : Ha, tuan menyerah!

GONZALO : Tapi saya mau ambil obat bersin dulu. (mengambil tempat obat). Nyonya mau? (memberikan obat itu)

LAURA : Kalau cocok!

GONZALO : Ini nomor satu! Nyonya tentu akan suka!

LAURA : Memang biasanya akan menghilangkan pusing.

GONZALO : Saya pun begitu.

LAURA : Tuan suka bersin?

GONZALO : Ya tiga kali.

LAURA : Persis sama dengan saya! (setelah mengambil bubukan, keduanya bersin berganti-ganti masing-masing tiga kali).

GONZALO : Ehaaaah, agak enakan sekarang.

LAURA : Saya pun merasa enak sekarang.
(KE Samping) Obat itu telah mendamaikan kami rupanya!

GONZALO : Maaf, saya mau membaca keras. Tidak mengganggu kan?

LAURA : Silahkan sekeras mungkin, tuan tidak menggangu saya lagi.

GONZALO : (membaca) “ Segala cinta itu menyakitkan hati
Tetapi bagaimana jugapun pedihnya
Cinta adalah sesuatu yang terbaik
Yang pernah kita miliki “
Nah, bait itu dari penyair Campoamor.

LAURA : Ah!

GONZALO : (membaca) “ Anak-anak dari para bunda
Yang pernah kucinta
Menciumku sekarang
Seperti bayangan hampa “
Baris-baris ini agak lucu juga rasanya.

LAURA : (tertawa) Kukira juga begitu.

GONZALO : Ada beberapa sajak bagus dalam buku ini. Dengar!
(membaca) “ Duapuluh tahun berlalu
Ia pun kembalilah “

LAURA : Cara tuan membaca dengan kaca pembesar itu sungguh agak menggelikan saya.

GONZALO : Jadi nyonya bisa membaca tanpa kaca pembesar?

LAURA : Tentu saja, tuan.

GONZALO : Setua itu? Ahai, nyonya main-main saja!

LAURA : Coba saya pinjam buku tuan itu!
(mengambil buku dan membacanya keras-keras)
“ Duapuluh tahun berlalu
Dan ia pun kembalilah
Masing-masing saling memandang,
Berkata :
Mungkinkah dia orangnya?
Ya Allah, dimana oranya itu? “

GONZALO : Hebat! Saya iri hati pada penglihatan nyonya.

LAURA : (Kesamping) Hmm, saya hafal tiap kata syair itu.

GONZALO : Saya gemar sekali puisi-puisi yang bagus. Sungguh gemar sekali. Bahkan ketika masih muda, kadang-kadang suka bersyair.

LAURA : Sajak-sajak bagus juga?

GONZALO : Ya, macam-macamlah. Saya dulu sahabat dari Exprosoda, Zorilla, Bocquer, dan penyair-penyair lain. Saya kenal Zorilla pertama kali di Amerika.

LAURA : Eh, tuan pernah ke Amerika?

GONZALO : Sering juga. Pertama kesana saya waktu umur 6 tahun.

LAURA : Tentunya dulu tuan ikut Colombus.

GONZALO : (tertawa) Yah, tidak sejelek itu nasibku! Saya sudah tua, tapi belum pernah kenal Raja Ferdinand serta Ratu Isabella!
(keduanya tertawa). Saya juga teman Campoamor, berjumpa pertama kali di Valensia. Saya warga kota di sana.

LAURA : Apa sungguh?

GONZALO : Saya dibesarkan disana. Dan masa mudaku habis di kota itu. Apa nyonya pernah ke Valensia?

LAURA : Pernah! Tiada jauh dari Valensia ada sebuah villa dan kalau masih berdiri sekarang, bisa mengembalikan kenangan-kenangan yang manis. Saya pernah tinggal beberapa musim di sana. Tapi sudah lama lampau. Villa itu dekat laut, tersembunyi antara pohon jeruk. Mereka menyebutnya ... ah ... lupa ... o ya, Villa Maricella.

GONZALO : Maricella?

LAURA : Maricella. Apa tuan pernah mendengarnya?

GONZALO : Tak asing lagi nama itu ... ah, kita tambah tua tambah pelupa ... di Villa itu dulu ada seorang wanita paling cantik yang pernah saya lihat dan saya kenal. Dan namanya ... O ya, Laura Liorento!

LAURA : (kaget) Laura Liorento?

GONZALO : Benar (mereka saling tatap)

LAURA : (sadar lagi) Ah, tak apa-apa, hanya mengingatkan saya pada teman karib saya.

GONZALO : Aneh juga.

LAURA : Memang aneh! Dia diberi sebutan “ Perawan Bagai Perak”.

GONZALO : Tepat, “Perawan Bagai Perak”. Nama itulah yang terkenal di sana. Sekarang saya seperti melihatnya kembali di jendela di antara kembang mawar merah itu. Nyonya ingat jendela itu?

LAURA : Ya, saya ingat itulah jendela kamarnya.

GONZALO : Dulu dia suka berjam-jam di jendela.

LAURA : (melamun) Ya, memang dulu dia suka begitu.

GONZALO : Dia gadis ideal. Manis bagai kembang lilia. Rambutnya hitam. Sungguh mengesankan sekali! Mengesankan sampai kapan saja. Tubuhnya ramping sempurna. Betapa Tuhan telah menciptakan keindahan seperti itu. Dia seperti impian saja.

LAURA : (ke samping) Jika seandainya tuan tahu bahwa impian itu ada di samping tuan, tuan akan sadar impian macam apa itu, heh?
(keras-keras) Dia adalah gadis yang malang yang gagal cinta.

GONZALO : Betapa sedihnya (mereka saling memandang)

LAURA : Tuan pernah mendengar kabarnya?

GONZALO : Ya, pernah.

LAURA : Nasib malang meminta yang lain.
(kesamping) Gonzalo!

GONZALO : Si jago cinta cakap itu! Peristiwa cinta yang sama.

LAURA : Ah, duel itu.

GONZALO : Tepat, duel itu. Si Jago Cinta itu adalah ... saudara sepupu saya. Saya juga sayang sekali kepadanya.

LAURA : Oh ya, saudara sepupu. Seorang temanku menyurati saya dan bercerita tentang mereka. Dia ... saudara sepupu tuan itu ... tiap pagi lewat di depan jendelanya dengan naik kuda, dan melemparkan ke atas seberkas kembang yang segera disambut gadisnya.

GONZALO : Dan tak lama kemudian, dia ... saudara sepupu saya itu ... lewat lagi untuk menerima kembang dari atas. Begitu?

LAURA : Benar. Dan keluarga gadis itu ingin agar ia kawin dengan saudagar yang tidak ia cintai.

GONZALO : Dan pada suatu malam, ketika saudara sepupuku tadi tengah menanti gadisnya menyanyi ... di bawah jendela, lelaki itu muncul dengan tiba-tiba.

LAURA : Dan menghina saudara tuan itu.

GONZALO : Kemudian pertengkaran terjadi.

LAURA : Dan kemudian ... duel!

GONZALO : Ya, waktu matahari terbit, di tepi pantai, dan si Saudagar itu luka-luka parah. Saudara sepupu saya itu harus bersembunyi dan kemudian melarikan diri.
LAURA : Tuan rupanya mengetahui benar ceritanya.

GONZALO : Nyonya pun begitu agaknya.

LAURA : Saya katakan tadi, seorang teman telah menyurati saya.

GONZALO : Saya pun diceritai oleh saudara sepupu saya.
(ke samping) Heh, inilah Laura itu! Tak salah!

LAURA : (ke samping) Kenapa menceritakan padanya? Dia tak curiga apa-apa.

GONZALO : (ke samping) Dia sama sekali tak bersalah.

LAURA : Dan apakah tuan pula yang menasihati saudara tuan itu untuk melupakan Laura?

GONZALO : Ooo, saudara sepupu saya tak pernah melupakannya.

LAURA : Bagaimana begitu?

GONZALO : Akan saya ceritakan segalanya kepada nyonya.
Anak muda – Don Gonzalo itu – bersembunyi di rumah saya, takut menanggung akibatnya yang buruk sehabis menang duel itu. Dari rumah saya ia terus lari ke Madrid. Ia kirim surat-surat kepada Laura, di antaranya sajak-sajak. Tapi tentunya surat-surat itu jatuh ke tangan orang tuanya. Buktinya tak ada balasan. Kemudian Gonzalo pergi ke Afrika, sebab cintanya telah gagal sama sekali, masuk tentara dan terbunuh di sebuah selokan sambil menyebut berulangkali nama Lauranya yang sangat tercinta.

LAURA : (ke samping) Dusta! Heh, dusta kotor belaka!

GONZALO : (ke samping) Saya tak bisa membunuh diriku lebih ngeri lagi.

LAURA : Tuan tentunya telah ditumbangkan kesedihan yang sangat

GONZALO : Memang betul, nyonya. Dia seperti saudaraku sendiri. Dan saya kira tak lama kemudian, Laura telah melupakannya. Kembali bermain memburu kupu-kupu seperti biasanya. Tak pernah meratapinya.

LAURA : Tidak, Senior. Sama sekali tidak!

GONZALO : Biasanya perempuan memang begitu!

LAURA : Kalaupun itu sudah sifat perempuan, “Perawan Bagai Perak” adalah terkecuali! Teman saya itu menanti berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dan tak selembar suratpun tiba. Suatu senja ketika matahari terbenam, dia meninggalkan rumahnya dan dengan langkah tergesa menuju pantai tempat kekasihnya menjaga nama baiknya. Ia menuliskan namanya di pasir, lalu duduk di atas karang, memandang ke kaki langit. Ombak menyanyikan tembang duka yang kekal, dan menggapai batu karang di mana perawan itu duduk. Air pasang segera tiba dan menyapu gadis itu dari muka bumi.

GONZALO : Ya Allah!

LAURA : Para nelayan di situ sering menceritakan bahwa nama yang ditulis gadis itu lenyap ditelan air pasang.
(ke samping) Toh kamu tak tahu aku reka-reka sendiri cerita kematianku!

GONZALO : ( ke samping ) Dia berdusta lebih ngeri dari dustaku!

LAURA : Ah, Laura yang malang!

GONZALO : Wahai Gonzalo yang malang!

LAURA : (ke samping) Aku takkan bercerita kepadanya bahwa aku kawin dua tahun kemudian setelah duel itu!

GONZALO : (ke samping) Aku takkan bercerita kepadanya bahwa dua bulan kemudian aku mengawini penari ballet dari Paris!

LAURA : Nasib memang selalu aneh. Di sini, tuan dan saya, dua orang asing, bertemu secara kebetulan dan saling menceritakan kisah cinta yang sama dari dua teman lama yang telah bertahun lalu terjadi, seperti sudah akrab benar kita ini!

GONZALO : Ya, memang aneh. Padahal mula-mula kita bertemu tadi, kita bertengkar.

LAURA : Tuan juga yang tadi mengganggu merpati-merpati saya.

GONZALO : Memang agak kasar saya tadi.

LAURA : Memang kasar. (ramah) Tuan datang lagi besok pagi?

GONZALO : Tentu, asal pagi secerah ini. Dan takkan lagi mengganggu merpati-merpati itu, tapi saya akan membawa remah-remah roti besok.

LAURA : Oh, terima kasih. Burung-burung selalu tahu berterimakasih. Hei! Mana pembantuku tadi? – Petra!

GONZALO : (melihat laura yang membelakang) Tidak! Tak akan kukatakan siapa aku ini sebenarnya. Aku sudah tua dan lemah. Biarlah dia mengangankan aku sebagai penunggang kuda tampan yang lewat di bawah jendelanya.

LAURA : Nah, itu dia.

GONZALO : Itu Juanito! Dia sedang bercanda dengan gadisnya! (mengisyarati)

LAURA : (memandang gonzalo yang membelakang) Tidak, aku sudah berubah tua. Lebih baik ia mengingatku sebagai gadis bermata hitam yang melempar bunga dari jendela.
(juanito dan petra masuk) Hei, Petra!

GONZALO : Juanito, kau sedikit lambat.

PETRA : (kepada laura) Si tukang kebun memberikan bunga-bunga ini kepada Seniora.

LAURA : Alangkah bagusnya. Terima kasih. Sedap benar baunya! (beberapa bunga gugur ke tanah)

GONZALO : Ini semua sungguh menyenangkan, Senora!

LAURA : Demikian juga saya, Senior!

GONZALO : Sampai besok, nyonya!

LAURA : Sampai besok, tuan!

GONZALO : Agak panas hari ini!

LAURA : Pagi yang cerah. Tuan besok pergi ke bangku tuan?

GONZALO : Tidak, saya akan kemari saja. Itu kalau nyonya tidak berkeberatan.

LAURA : Bangku ini selalu menanti tuan!

GONZALO : Akan saya bawa remah-remah roti!

LAURA : Besok pagi, jadilah!

GONZALO : Besok pagi. (laura melangkah ke kanan berpegang pada petra. Gonzalo membungkuk susah payah memungut bunga yang jatuh tadi, dan laura menengok ketika itu)

LAURA : Apa yang tuan kerjakan?

GONZALO : Juanito, tunggu dong!

LAURA : Tak salah, dialah Gonzalo!

GONZALO : (ke samping) Tak salah, dialah Laura!
(mereka masing-masing melambaikan tangan)

LAURA : Mungkinkah dia itu benar orangnya?

GONZALO : Ya Allah, diakah orangnya itu?
(keduanya tersenyum)


L a y a r T u r u n

naskah : Lapar

LAPAR
Sandiwara Radio

Karya Muhammad Ali

diketik ulang oleh Teater Kedok SMANAMBAYA

Guntur beregelegar. Terdengar suara katak,kemudian lonceng gardu jaga berbunyi beberapa kali tanda kereta api mau datang. Kemudian ada suara orang naik tangga.

Lastri : (kedinginan. Batuk-batuk). Pukul berapa sekarang Mon ?
Mona : (menguap) Ah,baru jam sebelas. Kau sekarang rajin benar Tri. Masih setengah jam lagi aku baru aplos,si Jagur belum juga lewat,tapi kau sudah ada di sini. Kepengen cepat-cepat naik pangkat,apa?
Lastri : Apa? Si Jagur?
Mona : Ya,si Jagur! Bukan kah begitu dia dijuluki kawan-kawan? Alah,si Jagur itu..Express Jakarta-Surabaya yang saban malam lewat. Ah,kau selalu ketinggalan Tri!
Lastri : Oh,ada-ada saja. Aku sangka…
Mona : (menyela tiba-tiba) Tri,kau bawa kopi? Mana sini..aku minta seteguk. Lekas Tri,hamper aku mati kedinginan. Memang terlalu dingin malam ini.
Lastri : Kopi?
Mona : Ya,kopi! Kau ndak bawa?
Lastri : Wah,lupa Mon.
Mona : E..e..kau bisa tahan semalam suntuk tanpa kopi? Jangan sembrono kau,kau tanggung nanti benturan keretanya.
Lastri : Aku….. (ketawa lemah)
Aku… Barangkali aku tahan Mon.(terdiam sejenak). Sudah seminggu aku ndak bawa kopi kemari. Aku tidak ngantuk,bahkan waktu siangpun aku kepingin tidur sebentar,tapi mata tak mau tertutup.
Mona : Oh..eh…Kenapa? Agaknya kau kena malarindu?
Lastri : (diam sebentar. Kemudian menjawab dengan serius) Mon,sesungguhnya aku mau minta berhenti. Aku tidak bisa. Aku tidak tahan jaga di tempat ini.
Mona : Berhenti? Apa katamu? Berhenti ?! Masyaalah! Barangkali kau ini mau berubah akal. Todakkah engkau tahu,beribu orang sekarang tunggang langgang cari kerja? Kan enak jaga malam di gardu ini. Siang-siang kau bisa tidur sesukamu. Lagipula,berapa lama sih kita jaga ? Lima jam ? Apa beratnya? (tertegun,kemudian berkata lagi)
Tri,kau tahu artinya berhenti? Nganggur! Dan nganggur itu artinya apa? Mampus,kau tahu?! Tapi,barangkali kau dapat lowongan lain?
Lastri : Tidak.
Mona : Lalu,apa maumu?
Lastri : Mon,sesungguhnya aku…aku takut jaga di tempat ini. Aku takut Mon. (dengan suara pengdsan yang agak melengking)
Mona : Takut?? (dengan suara heran)
Lastri : (berbisik) Mon..kau tak pernah mendengar sesuatu?
Mona : Apa?
Lastri : Teriakan-teriakan. Orang berteriak-teriak!
Mona : Orang berteriak-teriak? Di mana?
Lastri : Saban malam,agaknya sudah tujuh malam berturut-turut,aku dengar orang berteriak-teriak. Mulanya aku tak tahu siapa dan darimana datangnya suara itu. Sebentar jauh,sebentar pula mendekat mendekat lagi,kedengarannya seolah-olah di bawah gardu ini. Tapi setelah diperhatikan,menurutku ada orang yang berteriak-teriak dekat rel di tikungan itu.
Mona : Dari rel yang mana?
Lastri : Itu. Rel yang di tikungan itu. Disitu kan gelap benar.
Mona : Tadi kau katakana orang-orang. Ada berapa semuanya?
Lastri : Kalu aku tak keliru,ada dua. Seorang laki-laki yang suaranya parau dan mengerikan,dan yang satu lagi,kukira perempuan,suaranya melengking nyaring. Setiap kereta api express dari Jakarta lewat,selalu kedengaran suara mereka. Seolah-olah ada yang kelindas. Mulanya memang aku sangka begitu,tapi,setelah kuperiksa,disana tak ada apa-apa,dan teriakan mereka itu berpindah-pindah pula,aku,aku…
Mona : (menyela) Kau mendengarnya sunguh-sungguh?
Lastri : Berani sumpah aku,sungguh mati Mon. aku dengar dengan telingaku ini. Aku dengar mereka menjerit-jerit,kadang seperti mengeluh,kadang mereintih-rintih,dan kadang pula seolah-olah mereka menangis sedih. Saban malam,sampai waktu fajar,ketika keretaapi Malang lewat situ,baru mereka berhenti,dan suara mereka menghilang.
Mona : Kau bilang tadi…yang satu laki-laki dan satunya perempuan?
Lastri : benar.
Mona : Apa yang mereka teriakkan?
Lastri : Aku tak tahu pasti. Tapi kira-kira mereka berteriak begini: Lapaaar…Lapaaarrr…Laaapaaarrr!!!


#####$$$$$#####


Guntur bergelegar lagi. Kemudian terdengar lonceng di gardu jaga yang menandakan kereta api datang.

(terdengar jeritan seorang laki-laki dan seseorang perempuan).

P & T : Laaapaaarrr…laaapaaarrr…laaappaaaarrr…!
Lastri : Mon….(berbisik) Mon..kau dengar? Kau dengar Mon?
Mona : Tri,Tri,ya Allah! Audzubillahiminassyaitonirrojim.
Lastri : Apa? Apa? Itu apa Mon?
Mona : Ini…Ini suaranya Putero. Putero! Dan yang perempuan itu…itu bininya,Tini! Tri..Tri…aku kenal benar mereka itu. Mereka sudah mati,Ya Allah.
Lastri : Mati?
Mona : Sungguh! Mereka itu sudah mati…kedua-duanya. Memang sudah mati. Kelindas keretaapi,tempo hari. Di situ Tri,di tikungan itu. Aku tahu ini betul suaranya Putero dan Tini!

(bunyi pintu di dobrak keras-keras serta bentakan garang)

Putero : Binatang! Apa ini pintu ini selalu ditutup?! Apa maksudnya? Bikin sial!
Tini : eh…eh…aku kira…. (dengan tergagap-gagap)
Putero : Kau kira siapa? Setan? Oh,kau kira selingkuhanmu yang datang? Selingkuhanmu ya?!
Tini : Mas Putero!
Putero : Memang,sejak aku nganggur,kau suka ngeluyur. Kenapa kau ngeluyur? Kalau tidak cari gendak? Kau kira aku buta? Hehh,perempuan celaka!
Tini : Mas putero! Aku kira Tuan Karim lagi yang datang. Tadi dia sudah kemari pula. Bukankah sewa rumah delapan bulan,belum dibayar? Kita diusir kalau besok tidak bayar.
Putero : Tuan Karim. Lagi,lagi Tuan karim. Peduli apa sama dia?
Tini : Dia suruh kita pergi.
Putero : Ah,diam!!

(mereka berdua sama-sama terdiam)

Tini : Mas selalu yang memulai pertengkaran. Ada ada saja yang kau jadikan helah. Saban hari aku kau bentaki,kau maki-maki,saban kau datang kau bikin rebut! (lalu menangis terisak-isak)
Tini : Aku malu mas,malu didengar tetangga kanan kiri.
Putero : Persetan sama tetangga! Kamu kira,tetangga yang kasih kita makan? Tetanggakah yang carikan aku kerja jika tak punya kerja seperti sekarang? Tetangga,biar mampus semua!
Tini : Ya,kau memang tak mau peduli apa-apa lagi…
Putero : ah,jangan cerewet! Ayoh sediakan makan!
Tini : Makan?
Putero : Kau tuli? Aku bilang makan. Sediakan. Ayoh! Lekas!
Tini : Apa yang akan dimakan? Ini hari,aku nggakmasak. Beras habis. Barang-barang semua sudah dirombeng. Semua! Perhiasanku,pakaianku,habis! Tinggal tikar bantal kecil yang ditiduri anak kita. Apa itu juga mesti dirombengkan?
Putero : Binatang! Aku tidak tanya itu semua. Aku lapar! Lapar! Mau makan sekarang. Kini juga!
Tini : Kau mau makan? Hehh, telan saja kendi ini,satu-satunya barang yang ketinggalan. Telanlah!
Putero : (membentak) Keparat!
Tini : Istrimu,anakmu,anakmu yang berumur lima bulan itu,telah dua hari perutnya tak kemasukan makanan. Kau tidak tahu? Dengarlah dia menangis,mengapa? Kau tak tahu? Dia lapar. Lapar!
Putetro : Diam! Aku pecahkan kepalamu! Oh, tutup mulut anak celaka itu. Aku tak mau dengar.
Tini : Dia lapar mas, dia lapar.
Putero : Tutup mulutmu!
Tini : Dan air susuku kering
Putero : Diam! Dian! Kutampar mulutmu. (menampar Tini. Lalu Tini menjerit kesakitan)
Tini : Jika begini terus menerus, lebih baik aku pergi saja. Tati kubawa.
Putero : Pergi? Kau mau pergi? Pergilah! Aku bosan melihat mukamu yang kemurung-murungan itu. Pergilah lekas!
Tini : Dan akupun tak tahan lagi tinggal tersiksa dalam neraka ini. Daripada aku mesti lapar dan makan hati disini, bukankah masih ada orangtuaku di desa? Lagipula, bukan sekali dua kali aku kau usir! Biarlah aku pergi sekarang juga.
(putro terdiam kemudian memanggil Tini)
Putero : Tini !


Hujan lebat menderu-nderu diselingi oleh petir halilintar. Terdengar suara pintu diketuk
dan bayi menangis-nangis.

Nyonya : Siapa?
Tini : Saya, saya nyonya! Tolong bukakan pintu. Nyonya!
Nyonya : Siapa? Saya siapa?
Tini : saya nyonya, tolonglah saya, nyonya. (setelah membuka pintu)
Nyonya : He, ada apa ini ? Siapa kau ? (heran)
Tini : Saya, tolong saya nyonya, ini anak saya !
Nyonya : Masuklah –masuklah. Perlu apa dik ? dan siapa pula yang kamu cari disini?
Tini : Nyonya, nyonya, saya mohon pertolongan nyonya. (menjawab terputus-putus)
Nyonya : Tolong? Tolong bagaimana? Eh aku tidak mengerti. Siapa kau sebenarnya dan kenapa datang begini malam ? Diwaktu hujan seperti ini pula ?
(Tini menangis sedih)
Nyonya : Oh jangan menangis , ceritakan apa yang telah terjadi. Coba ceritakan, barangkali aku dapat menolongmu.
Tini : Nama saya Tini, Nyonya. Saya diusir suami saya sebab………………..
Nyonya : Apa sebabnya? Terangkan. (sela wanita itu)
Tini : Sebab dia lama menganggur. Dia jadi sengsara. Hidup kami bergantung pada gajinya. Dia kebingungan dan selalu marah-marah, dan begitulah pada suatu malam saya telah diusirnya.
Nyonya : Oh (kata wanita itu,lalu dia berkata). Kau tak punya famili?
Tini : Ada orang tua saya di desa, Nyonya.
Nyonya : Mengapa tidak kesana saja?
Tini : Sudah nyonya, saya sudah pergi kesana. Tapi mereka tidak bisa menerima kami.
Nyonya : Mengapa?
Tini : Mereka tidak mampu, nyonya. Mereka sendirian kelaparan. Makan singkong sehari sekali.
Nyonya : Oh. Berapa umur anakmu itu?
Tini : Lima bulan, nyonya. Namanya Tati. Bapaknya yang kasih nama begitu.
Nyonya : Manis namanya. Oh ya, begini saja, eh siapa pula nama mu?
Tini : Tini
Nyonya : Oh ya, begini Tini, sesungguhnya saya pun tidak bisa menerima kamu. Saya sendiri dalam kesukaran pula. Bukan saja orang di desa, orang-orang kota pun kini mengalami kesusahan. (terdiam seketika)
Tapi, kalau kau suka, biarlah aku terima anakmu saja. Itu, kalau kau suka. Coba kulihat muka anakmu.
Tini : Anak saya saja? Dan saya?
Nyonya : Kau sendiri tentu bisa dapat kerja di tempat lain. Ya,begitu saja kalau kau suka. Kebetulan sekali kami tak punya anak. Berapa tadi kau bilang umurnya? Lima bulan? Aduh,masih bayi,ya?
Tini : Jadi nyonya mau anak saya saja?
Nyonya : Ya. Maksudku anakmu mau aku ambil,ku jadikan anak angkatku. Sudah lama aku kepingin anak,dan kebetulan kau datang membawa anak.
Tini : Tapi…
Nyonya : Apalagi? Kan,baik begitu. Daripada anak itu keadaannya tak terurus sepeti sekarang. Lihat,betapa kurus dia. Kau mau bunuh anakmu sendiri? Kasihan…betapa kurusnya dia.
Tini : jika begitu maksud nyonya..biarlah dia tinggal disini bersama Nyonya,barangkali akan lebih baik. Dan saya sendiri nanti akan mencoba melamar menjadi babu atau apa saja di tempat lain. Hanya kalau nyonya tidak keberatan…
Nyonya : Mengapa?
Tini : Kalau nyonya tidak keberatan…tolong beri saya pesangon. Seribupun sekarang saya tak punya….
Nyonya : Pesangon? Oh tentu,tentu! Tapi begini Tini,lebih baik aku berterus terang saja. Anakmu itu sesungguhnya akan ku beli.
Tini : Dibeli,Nyonya?? (menyela tiba-tiba)
Nyonya : Nanti kusuruh bikin sepotong surat dank au harus pasang cap jempol diatasnya. Surat itu maksudnya…bahwa kau telah menyerahkan anakmu padaku. Dan sebagai gantinya,kau dapat lima juta dariku. Lima juta. Cukup bukan?
Tini : (bingung) Jadi….
Nyonya : Jangan kuatir…
Tini : tidak,tidak Nyonya. Saya tudak juak anak ini. Tidak. Tidak. (cemas)
Nyonya : Itu kalau kau suka. Kami tidak paksa. Kami hanya mau menolong kau saja. Kalau tidak,yah apa boleh buat. Aku tidak bisa terima begitu saja. Diman sekarang ada orang yang mau menolong begitu saja? Nah,sekali-kali aku pun mengijinkan kau datang melihat anak ini. Bagaimana? Lima juta. Boleh ndak? Eh,kau suka? Jangan kuatirkan apa-apa,sebentar aku bikin suratnya,aku panggil saksi-saksi juga. Bagaimana? Suka? Sudahlah..jangan piker-pikir lagi. Tak usah kuatir. Lima juta,dekarang banyak itu. Dan kau hanya perlu pasang cap jempol saja.
Tini : Kalau begitu nyonya,yah apa mau dikata.



#####$$$$#####

Putero : BERHENTI!!
Mona : Eh..eh..ya..ya bung,nanti dulu bung. (lalu terkejut) Lho…ini kan Mas Putero?! Ada apa mas? Ah,terlalu. Sungguh-sungguh mengejutkan.
Putero : Betul betul. Kau tidak keliru Mona. Memanglah ini Putero. Putero yang malang. (lalu tertawa terbahak-bahak) Dan sekarang kau..Mona yang budiman.
Mona : Yang budiman ? (takjub)
Putero : Ya,ya,serahkan uangmu padaku. Buka celanamu,buka hemmu,lencang tanganmu. Ayoh,ayoh,serahkan semua kepadaku! Semua! (lalu setengah berbisik) Kalau tidak,belati ini jadi bagianmu. Mau ini?
Mona : Te..te..te..tapi.. (tergopoh-gopoh)
Putero : Tidak ad ate-te-tapi. Serahkan lekas!
Mona : Mas Putero! Mas Putero!
Putero : Ayoh lekas! Serahkan semua kepadaku! Kalau tidak,aku benamkan belati ini kedalam perutmu. Lekas!!
Mona : Mas Putero,kenapa,kenapa kau jadi begini?
Putero : (tertawa keras) Apa? Kenapa aku jadi begini? (lalu tertawa lagi)
Mona : Mas putero,aku ini Mona,Mona tetanggamu. Aku Mona kawanmu sendiri! Kau tentu tahu aku orang melarat bukan?!
Putero : Diam!!! Jangan banyak cing-cong! Ayo lekas serahkan barang-barang itu. Kalau tidak,aku perah jantungmu hingga lumat.
Tini : Nanti dulu, Nanti dulu Mas Putero! Ingatlah,ingatlah. Aku ini kawanmu,tetanggamu sendiri. Pekirlah tenang-tenang. Pernuatan ini kurang patut. Memalukan! Keji ndan kelewat jahat! Mas Putero,ingatlah. Ingatlah!
Putero : Apa? Jahat katamu? (tertawa gembira). Jahat? Memang. Memang kau benar mona. Kau tidak keliru. Sedikitpun tidak keliru. Memang perbuatanku ini jahat. Terlalu jahat.! Tapi… (menahan nafas dan mulai beramah tamah) yang terlebih-lebih jahat lagi ialah mati kelaparan! Kau dengar? Mati kelaparan!!
Mona : Mas Putero. Mas Putero,aku,aku mionta ampun. (kebingungan). Ampun Mas Putero,ampunilah aku,ampun. Barang-barang ini bukan aku yang punya,sungguh mas Putero,ampuni aku,ampun.
Putero : Hehh! Kau punya atau bukan…aku tidak peduli! Serahkan! Habis perkara.
Mona : ampun,Ampun mas Putero! (menjerit tiba-tiba)
Toolllooong…Tooolllooong...!!
Putero : Diam!!! Aku cekek batang lehermu!
Mona : Tolong! Toll…. (tiba2 tersekat,mengaduh,terserak-serak kesakitan)
Putero : Ayoh! Kau serahkan apa tidak?
Mona : Ampun. Ampun. Ampun.
Putero : Kucekek kau sampai mampus.
Mona : aduh,aduh,aduh,lepaskan,lepaskan aku,aduh,aduh. Aduh,aduh,jangan bunuh aku. Jangan,jangan,jangan,aku punya suami,punya anak..aduh..aduh…
Putero : Kau serahkan apa tidak? Ayo lekas!
Mona : (Mengadu-adu, tersekat-sekat, suarantya parau dan lemah) Ya, ya, aduh…


Wanita : Malam ini kok sepi ya Tin? (Dengan suara genit). Tidak seperti kemarin. Tengoklah, jajannya masih utuh, kopinyapun belum kalong. Botol limun juga belum ada yang kosong. Ah, sial sih malam ini! (diam sejenak)
Tin, sudah pukul berapa kira-kira sekarang? (menguap panjang)
Tini : Entahlah (seraya terbatuk-batuk)
Wanita : Apa sekarang pukul sepuluh?
Tini : Entahlah.
Wanita : aduh, pantat ku sudah serasa terpanggang duduk berjam-jam begini. Sial. Kapan sih aku jadi kaya?!
Tini : (terbatuk-batuk) masih ada rokokmu?
Wanita : Rokok? Astaga! Sejak pagi tadi hingga kini, aku cumin hisap sebatang, hanya sebatang tak lebih, dan itupun aku dapat dari orang lewat. Bukankah sudah kukatakan, hari ini memang hari sial. Sampai-sampai membeli rokok pun aku tak mampu.
(tini terbatuk-batuk lagi)
Wanita : Tin belakangan ini kulihat mukamu selalu murung saja. Jarang kau omong-omong seperti dulu. Kau tampak lesu selalu. Ada apa Tin? Apa yang kau susahkan? (tini menghela nafas, kemudian terbatuk-batuk dan wanita meneruskan) saban malam dalam tidurmu kau mengigau, hingga ku takut. Apa yang kau igaukan itu, kurang jelas bagiku, tapi ada juga kudengar engkau menyebut-nyebut nama seseorang. Nama siapa? Entah, aku lupa. Dan semakin hari mukamu semakin bertambah cekung dan kepucatan-pucatan . badanmu semakin rusak tak terpelihara.
Tini : Ah, sudah. Jangan mencomel ! (sela tini kesal)
Wanita : Selamanya kau membangkang. Selamanya kau ini cengkal. Berapa kali sudah kuperingatkan padamu. Minumlah jamu ! minumlah jamu setiap sore! Tapi rupanya aku sama sekali tak kau pedulikan. Dan kau kurang tidur juga. Ingat tin, kalau kita layu, kita tak laku, sepeser pun tidak! Kita mesti berhati-hati memelihara badan sendiri, kalau masih ma uterus hidup.
Tini : Jamu! Jamu! Kurang tidur! Jaga badan! (kata tini tiba-tiba)
Kok itu-itu saja yang kau omongkan. Apa tak ada yang lain? Semua itu tak ada gunanya bagiku. Aku benci!
Wanita : Eh. Benci? Benci apa? Siapa yang kau benci?
Tini : Aku benci diri sendiri .
Wanita : Benci diri sendiri? Lho, kau ini sungguh aneh. Ada-ada saja. Masa ada orang benci sama diri sendiri?
Tini : Tapi memang begitu yang sesungguhnya. Aku benci diriku sendiri. Diriku ini sudah begitu najis, berpindah-pindah dari satu kelain rangkulan laki-laki. Ah, dulu, belum lama lagi, kapan aku melihat perempuan jalang, timbul jijikku. Dan sekarang aku sendiri .
Wanita : Alah, itukah yang kau ributkan? Guna apa? Oh, orang boleh jadi apa saja, yang perlu kan asal kita dapat makan?
Tini : Tapi aku malu. Aku malu! (kata tini serak)
Wanita : Kenapa mesti malu kau? Cari makan tak usah malu. Ah, sudah Tin, jangan kau mengada-ada, nanti kau sendiri yang celaka. Nah, itu dia, ada becak kemari.
(lalu wanita berseru) Mari mas, mampir mas! Mari, mampir mas!


####$$$$####

Kedengaran bunyi tuwak dituang ke dalam gelas, lalu Putero meneguknya habis-habis, kemudian ia mengketap-ketapkan lidahnya berkali-kali .

Putero : Hahh, enak betul tuwak ini ! (kata Putero sambil ketawa puas)
Amin : Minum terus! Terus sampai mampus! (kata Amin kawan Putero)
Putero : Habis mau apalagi, Amin? Dunia ini kan dibikin buat tempat kita bersenang-senang, bukankah begitu? Nah, selagi kau hidup minumlah puas-puas, minumlah, dan lupakan hidupmu! Dan itulah baru hidup sebenarnya. Min, rahasia ini, kubuka hanya untuk kau saja, kawan setia. (Lalu tertawa terbahak-bahak).
Amin : Ah, sudah, jangan gila-gilaan.
Putero : (Tawa mereda) Min, belum kuceritakan padamu pengalamanku siang kemarin? Ha!!
Amin : Pengalaman?
Putero : Kau tahu itu baba gendut? Aku gertak dia abis-abisan, waktu dia balik siang-siang dari pasar. Tahu kau? Aku gertak sama apa dia? (tertegun, lalu pecah dalam gelak terbahak-bahak, sambungnya). Sama ini! Sama korek api ini Cuma! Walah!! Tapi pintar dia, dan betul-betul kurang ajar dia. Masa kantongnya Cuma berisi lima ribu rupiah? Cuma lima ribu rupiah Min! memang babi dia.
Amin : Kau kira orang sekarang tetap geblek seperti kau begitu?. Huhh, mereka duitnya dalam petibesi. Yang dikantong cuma lima ribu rupiah.
Putero : Tapi satu kali aku mesti bekuk dia, si babi gendut itu!.
Amin : Tapi Tro, jangna gampang-gampang sekarang bung, untuk membekuk orang.
Putero : Kenapa?
Amin : Eh, kenapa? Kepalamu kau taruh di mana? Tidakkah kau tahu? Somad sudah ketangkap. Sidik juga. Si Kompleng yang jagoan itupun tidak luput. Nanti mesti datang giliranmu. Kemudian giliranku sendiri.
Putero : Ketangkap? (gembira). Aku ketangkap? Oh, tidak Min, aku tak mungkin ketangkap! Tak mungkin! Kau tahu apa sebabnya? Sebab aku memang tidak sudi ditangkap!
Amin : Eh enaknya, tidak sudi ditangkap. Si Kompleng dulu juga bilang begitu, dan sekarang dia meringkuk dalam terungku.
Putero : Aku lebih suka ditembak mati. Yaa lebih baik mati. Dan memang aku kepingin lekas mati.
Amin : Tro, (dengan sungguh-sungguh). Sejak kawan-kawan tertangkap semua, tambah hari hatiku tambah ngeri rasanya. Aku jadi takut Tro. Dan terpikir-pikir ada niatku mau tobat saja….
Putero : Tobat? (dengan takjub). Kau mau tobat? Tobat? (kemudian tertawa terkekeh-kekeh).
Amin : Daripada ditembak mati?
Putero : Lantas, kalau kau sudah tobat kau mau apa? Mau jadi apa kau? Mau ke mana kau? Mau mati kelaparan? Merengek-rengek lagi seperti dulu ya!
Amin : Entahlah, tapi….
Putero : Ah, otakmu mulai miring. (lalu terdengar langkahnya pergi menjauh terseok-seok.
Amin : He, Tro! Mau ke mana?
Putero : (Seraya membantingkan pintu keras-keras) Perempuan.

#####$$$$$#####


Bunyi langkah Putero terseok-seok, terhoyong-hoyong sambil menyanyi-nyanyi kecil tak
berketentuan.

Tini : Mas, mas, ada rokok mas? (suaranya lemah merayu)
Putero : Heh, siapa kau? (bergumam). Oh, perempuan. Ada apa berdiri digelap-gelap? Oh, kau belum laku? Kasihan!
Tini : mari mas, kemari. Minta rokok sebatang mas. Kemari sebentar mas!
Putero : Rokok? Oh, kau mau rokok? Ah, eh, ini ada perempuan minta rokok. Oh, jangan kuwatir. Eh, ini rokok aku tinggal satu, eh eh ya, Cuma tinggal satu korek. Eh rokoknya (sambil tertawa merengek).
Tini : Mari mas, kemari mas! (suaranya tambah merayu)
Putero bergumam, melangkah terseok-seok.
Tini : Terima kasih, ada koreknya mas?
Putero : Eh, sudah dikasih korek, eh rokok, minta korek, kerek… Oh, korek, tentu, tentu ada, jangan kuatirrr. Hemm, ini dia! Satu kali! (seraya mencetuskan api-apinya), Dua kali! Tiga kali! Ha (tiba-tiba ia tertegun, lalu berseni penuh takjub). Tini!!! Kau? Kau? Tini! Ah, Tini. Aku, aku Putero. Putero suamimu. Kau lupa aku Tini?
Tini : Lupa? Sama sekali tidak. Tapi kenapa kau begitu terperanjat ketemu aku ditempat ini? (kata Tini kurang acuh sambil terbatuk-batuk).
Putero : Tiada kusangka, sungguh tak kusangka Tini, aku akan menjumpai kau ditempat gelap ini. Dan, ah Tini, betapa kau sampai jadi begini? Tini, ah Tini, betapa? Betapa Tini, Ah, Tini.
Tini : (tertawa terkikik) Kau bertanya, betapa aku sampai jadi begini? Lucu. Sungguh lucu pertanyaanmu itu.
Putero : Aku kira engkau pulang ke desa, ke orang tuamu. Mengapa kau disini? Apa yang terjadi Tini?
Tini : Sudah, sudah. Jangan diurus lagi perkara itu. Tak ada gunanya. Dan apa perlunya kau tanyakan itu semua?
Putero : Apa perlunya? Tini, bukankah kau isteriku?
Tini : Isterimu? Hemm, tidak, semua itu tak perlu dibangkit-bangkit lagi. Akan menyesakkan napas saja.
Putero : Mana Tati? Tati di mana?
Tini : Tati? Oh, anak itu kau tanyakan juga? Anak itu? Dia sudah kujual!
Putero : Ha!? Apa kau bilang?
Tati : Aku jual. Kenapa? Aku jual dia lima juta rupiah! Kenapa?
Putero : Kau jual? Anak itu? Tati kau jual?
Tini : Ya, betul. Memang anak itu sudah kujual. Mengapa? Menngapa kau begitu heran? Ah, seperti kau ini baru turun dari langit saja. Tidak perlu kau begitu terkejut jika sekarang ada orang menjual anaknya.
Putero : Tetapi Tini, mengapa sampai begitu?
Tini : Aku lapar. Apa yang harus kulakukan dalam keadaan seperti itu? Tati tentu akan mati kelaparan jika dia tidak kujual. Aku mau, kalau dia mesti mati juga, janganlah dia mati kelaparan. begitulah, lantas dia kujual lima juta rupiah harganya. Bahkan diriku sendiripun kutawar-tawarkan pada siap ayang mau beli, dan harganya tidak semahal itu pula.
Putero : Tini, eh Tini, kau berdosa! Kau sungguh berdosa Tini!
Tini : Dosa? Dosa? (tertawa terkekeh). Apa ada dosa? Apa? Masih adakah sekarang orang yang mengerti dosa? Masih adakah sekarang orang yang menentang dosa? Mas Putero! Sekarang dosa tinggal dosa, semua gila!
Putero : Tapi itu anakmu Tini, anakmu sendiri yang kau jual. Betapa kau sebagai ibu sampai hati menjual anak kandungmu sendiri? Ah, Tini.
Tini : Mas Putero, belum pahamkah engkau? Lihatlah keadaanku sekarang. Kotor berlumur najis. Apakah aku harus membiarkan Tati bernasib seperti aku pula? Tidak, eh tidak mas Putero. Biarlah aku saja yang begini. Tati hendaknya jangan, ah, anak yangmanis itu.
Putero : Tapi Tini, ah, ah.
Tini : Jangan mengeluh. Aku bosan dengar keluhan. Dimana-mana sekarang orang pada mengeluh. Mengeluh. Mengeluh tiada habis-habisnya. Yang hidup mewah sekalipun kerjanya cuma mengeluh, dan membiarkan ribuan orang mati dikolong jembatan.
Putero : (Setelah lama terdiam) Tini, Tini, aku. Aku masih tetap cinta kepadamu Tini. Percayalah aku masih cinta padamu. Demi tTuhan! Waktu kau kuusir dulu dari rumah, aku sedang kebingungan, pikiranku kacau. Kau tentu mengerti Tini. Dulu-dulu aku tak pernah berbuat seperti itu.
Tini : (Terbatuk-batuk)
Putero : Kini aku menyesal Tini, sungguh menyesal. Tentu kau mau memaafkan aku Tini. Demi Tuhan, Tini, aku masih tetap cinta padamu.
Tini : (menyela) Ah sudah, jangan mendongeng!.
Putero : Demi Tuhan, aku cinta.
Tini : (menyela dengan cepat) Cinta! Tuhan! Cinta!. Apa itu semua? Cuma mainan yang paling bagus buat orang sekarang.
Putero : Tini marilah kita hidup berkumpul sebagai yang dulu lagi. Mari Tini, dan kita ambil Tati kembali, kita tebus dia kembali. Dan kita bertiga hidup sebagai dulu lagi. Kita bertiga Tini. Kau, aku dan Tati.
Tini : Hidup?
Putero : Ya, ya, hidup Tini, hidup rukun dan bahagia! Untuk selamanya! Aku takkan mengusir engkau lagi, selamanya tidak. Sungguh Tini, aku berjanji, aku bersumpah.
Tini : Hidup? Hidup katamu?
Putero : Ya, hidup Tini, hidup senang.
Tini : (tertawa mengejek) Oh, oh mas Putero kau bicara perkara hidup? Hidup? Apakah kau sedang mimpi? Hidup apakah yang kau maksudkan? (Tertawa lagi) Pabila dan hidup dimana itu? Bagaimana rupanya? Bagaimana rasanya? Indah? Merah? Kecil? Manis? Asin? (lalu tertawa ria merenai)
Putero : (berkata kebingungan) Ya, ya Tini.
Tini : kau sendiri tak tahu apa yang kau katakana mas Putero. Kau sendiri tak mengerti apa itu hidup! Ah, mas Putero, tiada hidup lagi bagimu, bagiku juga tidak. Kita ini bangkai-bangkai yang terlempar dan sia-sia, dan bangkai-bangkai tak berhak bicara perkara hidup. Hidup hanyalah bagi mereka yang punya harapan.
Putero : (menyela) harapanku besar Tini. Sungguh besar.
Tini : Ah, kau sedang bermimpi mas Putero. Kau mimpi!
Putero : Tidak Tini, aku tidak mimpi. Dengarlah.
Tini : Jangan dekati aku!
Putero : Dengarlah Tini, dengarlah aku.
Tini : Jangan dekati aku.
Putero : Tini!
Tini : Aku tak sudi!
Putero : Tini! Tini! Jangan lari!
Dan Putero lalu berseru-seru memanggil
Putero : Tini! Tini! Tini!
Dan dari kejauhan mulai terdengar raung dan peluit kereta api yang datang. Peluit
menjerit-jerit, raung menghebat dahsyat, dan Putero menjerit ngeri.
Putero : Tiniii!

#####$$$$$#####


Suara Putero dan Tini yang menggema bergantung, sedih menyayat,
mengambang melayang-layang.
Putero dan Tini : LAPAR!
Tono : Mon! Mon, kau dengar?. Mereka mendekat Mon, mereka mendekat.
Mona : (mengeluh) Ya Allah! Ya Allah!... Audzu. …..
Tono : Apa betul Mon, mereka itu sudah mati?
Mona : Aku lihat sendiri, aku saksikan sendiri mereka mati kelindas kereta api.
Tono : Mon?!
Mona : Betul!
Tono : Lantas ini apa maksudnya?
Mona : Ya Allah, entahlah.
Tono : Apa mereka hidup kembali?
Mona : Tak boleh jadi, tapi….
Tono : Mon, Mon, mereka mendekat lagi. Apa ini Mon?
Mona : Ini ruh mereka No, ruh mereka yang merintih. No, No, mesti kita bikin selamatan untuk ruh mereka. Supaya…. Ah. Barangkali tidak ada yang menyelamati mereka?!
Tono : Selamatan?
Mona : Iya ….
(kemudian berkata lagi) No, aku bersumpah malam ini beras bagianku untuk minggu ini akan kukurbankan …
Tono : Untuk apa?
Mona : Buat selamatannya Putero dan Tini.
Lonceng tanda di gardu jaga berdentang kembali. Raung kereta api dari jauh mendekat.
Peluit menjerit-jerit. Kereta api melintas deras. Cepat! Dahsyat! Kemudian, menjauh, dan
raungnya menggema dikejauhan dan lenyap. ***