20 Januari 2009

Naskah : Sang Mandor

“Sang Mandor”
Karya : Rahman Arge
Sutradara: Heru subagiyo
Supervisi: Eko “Ompong” Santosa
Susannah Day




Pemain :

Sang Mandor
Istri Mandor
Juki
Uduk
Poke
Rimba








SANG MANDOR : MEROKOK, MELAMUN, BATUK-BATUK.

Kapal-kapal datang dan pergi. Dan aku Cuma disini.

TERDENGAR PELUIT KAPAL.

Inikah akhir riwayatku?
Sebagai Mandor? Sebagai Ayah? Sebagai Suami? Sebagai Laki-laki? Sebagai...Manusia?

BATUK-BATUK. IA BERUSAHA MELAWAN REMATIKNYA. IA MERANGKAK, MENCOBA BERGERAK KE JENDELA. MEMANDANG KELUAR. MASUK MULLI. ISTERI MANDOR.

ISTERI SANG MANDOR : MELETAKKAN GELAS BERISI AIR PUTIH DI MEJA.

Pak, saatnya minum obat. Jangan dekat-dekat jendela. Disitu banyak angin. Astaga, Bagaimana kau bisa sampai disitu?

SANG MANDOR : Berapa kali dalam sehari-semalam aku
harus mendengar kata itu? Jangan!
Jangan! Jangan ini!
Jangan Itu!

ISTERI SANG MANDOR : Di situ banyak angin, pak.

SANG MANDOR : Kayak anak balita saja. Dituntun-tuntun.

ISTERI SANG MANDOR : Obatnya, Pak.

SANG MANDOR : BERTERIAK. Ya.

ISTERI SANG MANDOR : Sekarang.

SANG MANDOR : Iya.

ISTERI SANG MANDOR : Minum sekarang!

SANG MANDOR : Iya, iya, iya!

ISTERI SANG MANDOR : Obatnya saya bawa kesitu, atau, Bapak
yang saya
bawa kesini?.

SANG MANDOR : DIAM. MATANYA MENYALA. BATUK-BATUK.

Inikah akhir riwayatku?.

ISTERI SANG MANDOR : MENDEKATI MANDOR. MENCOBA MEMBANTUNYA
KE KURSI.

Ayolah, Pak. Saya bantu.

SANG MANDOR : MELEDAK

Jauh kau, Perempuan! Jangan Mendekat. Aku laki-laki. Aku mandor. Aku mampu bergerak sendiri.

MENCOBA BERGERAK KE KURSI, TETAPI SANGAT PAYAH.

Lautan luas aku jelajahi.

IA TERJATUH. SUSAH PAYAH IA BANGKIT.

Aku kenal kapal-kapal. Begitu banyak kapal...

IA KERINGATAN. IA BATUK-BATUK.

Aku akrab dengan pelabuhan-pelabuhan. Begitu banyak pelabuhan...

IA MENGERANG. REMATIKNYA NGAMUK.

Aku bersahabat dengan begitu banyak bangsa. Laki-laki... Perempuan...

TUBUHNYA TERHEMPAS KE LANTAI.

ISTERI SANG MANDOR : MELOMPAT UNTUK MENOLONG, TETAPI SEGERA
UNDUR MENDENGAR HARDIKAN SANG MANDOR.

SANG MANDOR : Jangan dekat! Jangan!

DENGAN TENAGA TERAKHIR IA BANGKAIT. IA MEMANDANG KEKURSI DENGAN MATA MENYALA.

Telah kuarungi laut sampai Benua eropa. Kutaklukkan badai sebesar apapun. Para jagoan mencium lututku. Lalu... lalu hanya untuk sampai ke kursi itu, aku harus kalah, hah...?

IA ROBOH.

ISTERI SANG MANDOR : BERGEGAS AKAN MENOLONG.

Semua tak ada yang langgeng, pak. Sadarlah. Tak ada orang bisa hidup tanpa uluran tangan orang lain. Lebih-lebih disaat kita sakit. Orang-orang. Siapapun ia, Masing-masing berangkat tua, Sakit-sakitan, Kesepian...

SANG MANDOR : Siapa bilang aku kesepian?

ISTERI SANG MANDOR : Tidak. Engkau tidak kesepian. Aku ada.

SANG MANDOR : Aku tidak kesepian bukan karena kau ada, Perempuan! Kau ada atau tidak ada, aku tidak kesepian. Aku tahu mengurus diriku sendiri, tanpa siapa-siapa...

ISRTERI SANG MANDOR : BANGKIT MENEKAN EMOSI.

Ayo, laki-laki! Hiduplah sendiri! Uruslah dirimu! Raihlah kursi itu! Letaknya hanya beberapa meter. Capailah! Tuan Mandor besar!

SANG MANDOR : Diam! Diam! Diam!

ISTERI SANG MANDOR : Aku tak akan diam! Sepanjang hidupku tak pernah tidak kau koyak-koyak hatiku. Sejak dulu, Sampai kini.

MERATAP SEDIH

Kehadiranku di sampingmu tidak pernah kau anggap. Tak pernah kau hargai. Bagimu, Aku ternyata tak pernah ada. Tak pernah kau hitung, bahwa aku juga manusia.

MELEDAK LAGI

Ayo! Merangkaklah! Merangkaklah engkau seorang diri ke kursi itu! Rebut! Rebut! Rebut kursi itu dengan keangkuhanmu!.

KEPEDIHAN BERCAMPUR KEJENGKELAN

Begitu banyak pelabuhan. Begitu banyak negeri. Begitu banyak perempuan. Nah mana semua itu? Mana? Mana? Mana, Tuan Mandor?

JUKI : MASUK TERGESA-GASA. MENENANGKAN KEDUA ORANG TUANYA.

Saya tidak mengerti, sampai kapan ayah adan ibu bisa rukun? Sampai kapan hari tua kalian dibiarkan begini terus? Kapan bisa menikmati ketenangan? Rasa tenteram? Kebahagiaan? Kedamaian?

SANG MANDOR : Sampai kapan, kau anak kecil, bisa berhenti berkothbah didepan saya?

JUKI : Kerukunan? Keseiyasekataan?

SANG MANDOR : Kothbah. Hentikan.

JUKI : MENINGKAT.

Kasih sayang? Harga-Menghargai? Hormat-Menghormati? Toleransi? Sipotau? Siamasei?

SANG MANDOR : Hentikan!

JUKI : tepo seliro?

SANG MANDOR : Stop kataku!

JUKI : Cinta-mencintai?

SANG MANDOR : Berhentiiiiii?!

BATUK-BATUK. AMAT MARAH. DIAM.

ISTERI SANG MANDOR : MENCOBA MENOLONG SUAMINYA.

Dengan meledak-ledak begini, Pak, Nafasmu bisa habis. Apa yang dikatakan anakmu, Juki, memang benar. Kita hampir-hampir tak punya lagi waktu merasakan nikmat yang diberi Tuhan. Sadarlah. Sadar... Istighfar pak!

SANG MANDOR : Aaaah...! Aku tahu apa yang tersembunyi di balik nasihat-nasihat Juki. Saban ia datang berkothbah disini, pasti ada apa-apanya. Pasti ada maksudnya...

ISTERI SANG MANDOR : MENATAP LEMBUT ANAKNYA.

Betulkah itu, Juki?

JUKI : DIAM SEJENAK

Iya. Iya, bu.

SANG MANDOR : Dan pasti, bagiku, itu kabar buruk.

ISTERI SANG MANDOR : Apa itu Juki?

JUKI : Saya, Saya, Habis,kawin, Bu.

ISTERI SANG MANDOR : Astagfirullah...

JUKI : Sempurnalah, Bu, Aku sebagai Laki-laki.

SANG MANDOR : Artinya, ini istrimu yang keempat toch?

JUKI : Empat sempurna, Pak. Saya sekedar mengulangi riwayat besar bapak.

SANG MANDOR : Setttan!.

JUKI : Maaf, Pak, satu Perahu Bapak terpaksa saya jual untuk ongkos kawin dan kontrak rumah.

SANG MANDOR : ROBOH, PINGSAN.

ISTERI SANG MANDOR : Tolong...tolong...tolong...

MASUK POKE , UDUK, DAN RIMBA. MEREKA RAMAI-RAMAI MAU MEMBANTU SANG MANDOR DARI PINGSANNYA, TAPI SEBELUM MEREKA SEMPAT MENYENTUH TUBUH SANG MANDOR, SANG MANDOR BANGUN.

POKE : Ini saya, Pak. Saya Poke. Anak bapak.

UDUK : Dan saya Uduk. Kami siap membantu Bapak. Kapan saja, Dan dimana saja, saya anak Ketiga

RIMBA : Saya Rrrimba. Orang kepercayaan Bapak untuk Mendampingi Uduk. Juga kapan Dan dimana saja.

SANG MANDOR : Kenapa saya?

JUKI : Bapak tadi pingsan.

POKE : Ramai-ramai kami mau menolong bapak, tapi baru kami mendekat, Bapak sudah keburu sadar. Bangun.

UDUK : Seandainya bapak masih pingsan, tentu kami sudah bergotong royong mengangkat bapak ke tempat pembaringan dan...

POKE : MEMOTONG

Dan merasakan betapa hangatnya kasih sayang kami, Anak-anak bapak ini, kepada orang tu...

RIMBA : Dan sekalipun saya, Rrrrimba, hanya orang kepercayaan, tak kurang kasih sayang saya kepada bapak. Hmm.. Saya boleh dibilang, yaa, sudah keluarga bapak jugalah begitu.

SANG MANDOR : BATUK-BATUK

Betulkah tadi saya pingsan?

SEMUA : BEREBUT

Betul...betul...betul.....Pak........

SANG MANDOR : MENATAP SATU DEMI SATU.

Tahukah kalian pertanda apa itu??

SEMUA : SALING MEMANDANG. BINGUNG]

Tid...tidak...tidak...tidak...pak...
SANG MANDOR : Nah, itu pertanda, dalam pingsanpun aku harus bisa mandiri.

POKE : Tapi, maaf, pak; Mengapa bapak duduk dilantai?

UDUK : Ya, Mengapa bukan dikursi?

RIMBA : Atau diranjang?

JUKI : MENATAP YANG LAIN.

Ayo kita ramai-ramai tolong bapak ke kursi.

SANG MANDOR : BERTERIAK

Jangan!

SEMUA BINGUNG DITATAP SANG MANDOR

SANGAT LEMBUT.

Uduk, Bagaimana rencana yang pernah kau bilang? Kau jadi Berlayar? Menjadi Kelasi dan berjuang sampai bisa jadi mandor?

UDUK : SERIUS.

Ya,Seperti bapak. Sayalah yang bersedia menggantikan Bapak, Mengukir riwayat besar dilautan, Seperti bapak.

RIMBA : Dan sebagai orang kepercayaan bapak, saya, Rrrimba, Akan ikut Uduk, Mempertaruhkan nasib bersama, Sehidup Semati.

UDUK : Inilah anak Laki-laki Sang Pemberani, Titisan darah sang penakluk lautan, Yang tak pernah Gentar Sampai sekarang. Jika layar sudah terkembang,Lebih baik mati di dasar Laut daripada balik ke pantai

RIMBA : Dan sebagai orang kepercayaan bapak, Saya, Rrrimba Yang ditugaskan menjadi centeng bagi Keselamatan Uduk...

MENDEKATI MANDOR
Saya selalu memompakan kedalam Jiwa anak ini, jurus “Main Kayu Sembunyi Tangan!” Pukul dulu baru berfikir!

UDUK : GERAK-GERIK CONGKAK

Dan Atas nama jurus “Main Kayu Sembunyi Tangan!”, Atas nama prinsip pukul dulu baru pikir, aku Uduk, putera ketiga sang pemberani,sang penakluk, yang namanya melampaui luas dan dalamnya lautan, dengan ini berjanji, akan melestarikan kebesaran dan keagungan Ayahanda.

RIMBA : Dan sebagai orang Kepercayaan Bapak, say Rrrim...

SANG MANDOR : Berhentiiiiii!

SEMUA JADI PATUNG.

Kata-kata! Selautan kata-kata kepalaku bengkak, perutku buncit, tubuhku serasa akan meledak oleh kata-kata kalian! Mulai dari anak pertama, Juki, banyak kata-katanya, tapi buntutnya itu... Aku pingsan dibuatnya.

UDUK : MENDEKATI MANDOR SELEMBUT MUNGKIN.

Keterlaluan Juki. Dialah penyebab...

POKE : Ya, Betul-betul keterlaluan. Jadi dialah penyebab pingsannya bapak?

JUKI : Hoe, jangan ikut campur! Itu urusan kami berdua!

UDUK : Saya juga anaknya. Saya wajib membela ayah saya. Saya tidak mau beliau cedera! Apalagi pingsan!

POKE : Jadi kau, Juki ; Kau yang menjadi sebab ayah tadi pingsan? Sampai hati kau, ha?! Kita, ya, terutama aku, aku yang selalu berusaha keras menjaga ayah, tahu-tahu kecolongan oleh orang dalam rumah sendiri. Tega nian! Sampai hati kamu!

MENGAYUNKAN TINJU KE JUKI

UDUK : MELOMPAT DIANTARA KEDUANYA DENGAN SIKAP TEMPUR.

Poke, ini tugas saya. Sayalah yang pantas mambela ayah, membalas sakit hati ayah karena dibikin pingsan oleh anaknya sendiri.Oleh juki...

KETIGANYA BAKU HANTAM , MEMUKUL DAN DIPUKUL, TERKAM-MENERKAM , BERGULING-GULING.

ISTRI SANG MANDOR : PANIK, MENANGIS MENJERIT-JERIT.
Sudah, anak-anakku, sudah... sudah... sudah... nak
...!

MELERAI, DAN TAK AYAL LAGI IKUT TERGULING-GULING.

SANG MANDOR : BERTERIAK.
Berhenti... Berhenti...
RIMBA : MEMATUNG MELONGGO

SANG MANDOR : Rimba, kenapa diam seperti tiang kapal di situ? Buktikan bahwa kamu bukan cuma jago berkata-kata! Buktikan! Buktikan! Pisahkan mereka... Pisahkan!
RIMBA : PUCAT TERSIPU-SIPU.
Ma... maaf... maaf, Daeng. Ini tidak termasuk dalam jurus persilatan saya...

SANG MANDOR : Setttan kau!
Berhenti...!

ORANG-ORANG YANG BERGULING-GULING ITU SPONTAN BERHENTI. TAMPAK JELAS KEEMPATNYA SEAKAN KENA SAMBAR ALIRSAN LISTRIK YANG AMAT KERAS MENDENGAR TERIAKAN SANG MANDOR. MEREKA TERPAKU HERAN , MEMANDANG SOSOK SANG MANDOR BERDIRI TEGAK DI ATAS LANTAI ,SEAKAN TERIAKAN LUAR BIASA ITU MEMBUAT LARI PONTANG-PANTING PENYAKIT LUMPUHNYA.

ISTRI SANG MANDOR : TERHARU , TAK DAPAT MENAHAN DIRI KARENA GEMBIRA MELIHAT SANG MANDOR TEGAK.
Daeng, Daengku... engkau mampu mengatasi lumpuhmu. Aku, aku merasakan diriku tegak berdiri di pelabuhan, di tepi dermaga , melambaikan sapu tangan ketika kapalmu bertolak... Aku memandang tubuhmu yang perkasa, kau senyum padaku...

MENDEKATI SANG MANDOR.

Aku ingin sekali menyetuhmu, Daeng...

SANG MANDOR : Jangan mendekat...

MENATAP ANAK-ANAKNYA.
Sudah kukatakan, dalam pingsan aun aku harus mandiri.
Apalagi kini. Rasanya aku segar sekali.

MENATAP UDUK.
Nah , Uduk. Katakanlah rencanamu. Langsung, tanpa bung-bunga kata. Tanpa pengakuan-pengakuan besar. Bahkan tanpa pergumulan...
Ayo...
Uduk..

UDUK : BINGUNG TETAPI KEMUDIAN MENEMUKAN KEBERANIAANYA.

Berkat ajaran ayah, sayapun akan segera melaksanakan rencanaku menjadi mandor pelaut. Tentu mulai dari bawah, sebagai kelasi.

SANG MANDOR : Bagus.

UDUK : Karena itu, sebagai bekal, perahu ayah... telah...

SANG MANDOR : Kau jual toch?!

UDUK : Iya, ayah; dan....

SANG MANDOR : Cukup! Mestinya inilah pingsanku yang kedua. Terbanglah semua perahuku !

MENAHAN GONCANGAN DALAM DIRINYA. DIA BERHASIL, MASIH BERDIRI TEGAK.

Juki, Uduk ; Perkelahian kalian untuk membela ayah,
ternyata buntutnya memukul saya juga. Perahu saya Cuma
dua. Dua-duanya sudah melayang...

POKE : Ayah, tapi ayah jangan terlalu bersedih,sebab saya telah membeli perahu untuk ayah.

SANG MANDOR : MEMANDANG TAKJUB PADA POKE.
Ternyata putra keduaku,Satu-satunya bibit paling unggul. Tapi... bagaimana caranya sampai kau bisa membeli perahu,poke?

POKE : Ya, sebagai orang dagang saya ini harus pintar-pintar bahkan harus lihai memindahkan-mindahkan barang supaya untung.

SANG MANDOR : Artinya...?

POKE : Saya harus ada modal beli barang dagangan.Maka sawah dan empang milik ayah,maaf, sudah saya jual ...

SANG MANDOR : BERUSAHA MENAHAN GONCANGAN YANG SEMAKIN KERAS DALAM DIRINYA.

Mestinya inilah pingsanku yang kedua tambah setengah.mulanya perahu kini sawah... empang... terus...?

DIAM LAGI.
Pergilah. Kini, aku tak punya apa-apa lagi kecuali satu kalimat:
Jangan lagi menadahkan tangan kecuali kepada tuhan

JUKI,POKE,UDUK,RIMBA,MENGHILANG DIPINTU.SANG MANDOR MENATAP LEMBUT PADA ISTRINYA YANG TERDUDUK DILANTAI SAMBIL MENUTUP WAJAH

Mulli,bangkitlah engkau... dan lihat aku telah disini... di kursi ini.

ISTRI SANG MANDOR : MENGANGKAT KEPALA IA MERASA SEPERTI TERBANG MELIHAT SUAMINYA BERHASIL MENDUDUKI KURSINYA.
Daeng Gassing, suamiku ... Engkau berhasil merebut kursimu dan...mendudukinya. Engkau berhasil! Ya Tuhan...

MEMELUK SUAMINYA.

Engkau telah merebut kembali lautmu,pelabuhanmu-pelabuhanmu, kapal-kapalmu, pengembaraanmu...

SANG MANDOR : Ya dalam diri engkeu... Dalam diri anak-anakku ...

MEMANDANG KE ATAS SAMBIL MENGELUS RAMBUT ISTRINYA, IA SEPERTI BERBISIK KEPADA SESUATU DI ATAS SANA.

Tuhan

Terima kasih.

Makasar, 9 Agustus 1992
(FS)

Tidak ada komentar: