19 Juli 2008

hidupku


semuanya menjadi berubah ketika ibu pergi dan ayah makin hari makin jadi pendiam. sudah satu bulan lebih ibu pergi tanpa pesan apapun meninggalkan aku, putra, dan ayah. ketika aku tanyakan dimana ibu pada ayah, ayah hanya diam sambil menghidung uang lembaran seribuan hasil berjualan koran hari ini. putra, adikku, pun menanyakan ibu pada ayah dan aku tapi kami berdua hanya bisa diam, tak mengerti apa yang mesti dijawab sebab kami tak tahu. kata beberapa tetangga yang suka mengurusi urusan orang lain berlebihan alis tukang gosip, ibu pergi meninggalkan kami karena sudah tak tahan dengan kehidupan serba kekurangan.
ayah memang hanya seorang loper koran, katanya, ayah sejak muda berjualan koran dengan berkeliling satu kecamatan dari pagi sampai sore hari. ayah tak memiliki ijazah sebab hanya sekolah sampai kelas 4 sebab kakek tak punya uang lebih dari hasil mengayuh becak tiap hari. hanya cukup untuk makan dan menghidupi tiga anak, seorang istri dan dirinya sendiri. ayah tak pernah malu meski sering diledeki anak-anak atau teman sebayanya yang terus sekolah. ayah hanya memikirkan cara untuk makan hari ini dan menabung barang sedikit untuk hal yang mendadak. ayah juga cacat secara fisik, tangannya tidak tumbuh dengan baik, agak bengkok.
kami tinggal di sebuah kamar kontrakan 3x4 meter dengan kamar mandi yang harus bergantian dengan tuan rumah dan kami harus tahu diri sebab ayah sering kali telat bayar uang kontrakan. pemilik rumah untungnya baik hati sebab tak pernah menagih uang kontrakan dengan semena-mena atau berbuat seenaknya pada kami, mereka adalah orang-orang baik yang sering memberi aku dan putra nasi tanpa lauk tiap hari semenjak ibu pergi, begitu juga para tetangga lain yang masih punya iba dan sedikit kelebihan di kampungku yang sempit. ayah kadang memasak untuk kami sebelum aku berangkat sekolah dan ayah jualan koran, sementara putra main sendiri di rumah ketika aku sekolah kadang ia main di tetangga.
di sekolah, aku sering di ejek karena miskin, kumal, ayah yang seorang tukang koran, serta ibu yang pergi.
"he! anak e' loper koran kere"
"gak due ibu,... ibu e' minggat!" tidak punya ibu,... ibunya pergi

tapi aku hanya diam dan kadang menghindari mereka yang mengejekku serta para ibu yang melihat dengan tatapan gosip dan mendatangi teman yang mau menerimaku dengan sikap yang biasa. aku sering dipanggi Bu Yati karena belum membayar iuran sekolah dan buku tugas . ketika aku mulai tak tahan dengan perlakuan teman-teman serta desakan untuk segera membayar semua tunggakan, aku hanya akan menangis di kamar mandi sekolah yang jorok. pernah suatu kali Pak Tarji, kepala sekolah, mendatangiku dan menasihatiku untuk tabah meneima semuanya meski aku masih kelas 4 SD. beliau mengatakan bahwa aku tak perlu lagi memikirkan membayar iuran sekolah serta buku tugas sebab telah dilunasi oleh beliau
"sudah bapak bayar, nduk."
"tapi kamu harus rajin belajar ya,.. jangan lupa sholat"
"ingat, jangan berbuat yang nantinya kamu sesali. jaga bapak dan adikmu, jangan dengar kata orang yang jelek dan jangan dendam pada mereka tapi doakan mereka agar jadi lebih baik, ya,.."

suatu hari aku dan ayah membantu tetangga yang sedang mengadakan hajatan. setelah berjualan koran ayah lekas membantu mendirikan tenda dari terpal, sementara aku membantu didapur. aku tdak membantu memasak tapi aku mencuci piring, mengepel, menghaluskan bumbu dengan menggerus meskipun pemilik rumah memiliki blender "biar hemat energi" katanya, serta membeli barang-banrang lain yang dibuthkan tetapu kurang atau belum terbeli. tk jarang aku mendengar suara-suara miring tentang aku dari pemilik rumah meski tubuhku bersimbah peluh "kalau mau bantu itu yang beneran, jangan asal-asalan!". putra yang baru berusia enam tahn dimarahi oleh pemilik rumah karena makan kue anaknyam padal anaknya yang memberi kue itu pada putra "heh! kecil-kecil suka minta_minta! mau jadi apa?!" hardiknya. bahkan saat aku tak sengaja menjatuhkan tissu pemilik rumah itu mengusirku setalah semua persiapan telah usai "dasar anak'e wong kere, ga due isin! ngaleh! nggarai kotor omahku ae!". dasar anaknya orang miskin, nggak punya malu! pergi! buat kotor rumahku saja!.
tak ada orang yang membelaku saat aku beranjak pergi sambil menggandeng putra pulang dengan peluh membanjiri muka serta perut yang lapar. ayah masih membantu menata kursi sehingga tak tahu kepergianku. sesampainya dirumah, putra bilang lapar namun tak ada makanan dipetak kami sehingga dengan rasa malu yang sangat aku mendatangi warung dekat rumah minta utangan nasi putih dan krupuk.
"wes nduk, gak usah utang. panganen ae ambek adekmu" sudah, nggak perlu utang. makan saja dengan adikmu.
"lo, gak dikasih makan sama tante?"
"mboten bude". tidak bude
"olah,.. dasar orang tak tahu terima kasih! sudah bawa saja nasi pecel ini buat putra"
"terimakasih bude"

di rumah aku mencari-cari kerja meski sekedar membantu tetangga mencuci pakaian atau piring, membeli barang di pasar yang berjarak satu kilo dengan berjalan kaki hanya untuk mendapatkan lauk untuk makan kami bertiga, kalau sedang ada kelebihan tak jarang aku di beri uang. ayah, setelah seharian berkeliling kadang membawakan kami kue dan mainan jika aku mendapat nilai bagus saat ujian. aku tak pernah meminta pada ayah sebab aku tahu penghasilan ayah yang tak menentu kadang sehari dapat Rp20.00 kadang dapat Rp10.000. ayah juga sering membantu tetangga yang sedang hajatan atau tetangga yang sedang membangun rumah
"ayah ndak punya uang lebih buat kita. ayah hanya punya sedikit tapi ayah selalu berdoa semoga barokah buat kita semua"
ya, memang doa ayah terkabul meski hanya dengan panghasilan yang sedikit kami masih bisa makan meski sehari dua kali dan kadang ada uang untuk jajan sekedar permen atau ciki seratusan. meski ayah tak bisa membelikan aku buku atau alat tulis yang layak aku masih mensyukuri sebab aku masih bisa sekolah dari pada orang-orang lain yang aku lihat di tv pemilik rumah yang hidup di jalan dan tak sekolah. aku dan putra telah terbiasa hidup tanpa ibu. semuanya ku coba terima dengan sabar sebab aku sendiri tak punya kekuatan lain selain menahan diriku sendiri.
hari ini, aku naik kelas, peringkat dua di sekolah. aku dan ayah serta putra merayakannya dengan makan bakso di warung dekat pasar cukup dua mangkuk untuk kami bertiga dan segela es teh manis, namun semua terasa nikmat sebab aku mencintai putra dan ayahku yang bertangan bengkok.


Tidak ada komentar: