22 Juni 2008

Didinding-Mu Hamba Menanti


aku ingin bertemu denganmu tuhan. selama ini kau hanya maya dalam dusta syek janggut merah. beberapa kali aku coba bertanya dan jawabannya ialah hardikan nan pedas.

"dasar kau pendosa!!! kenapa kau pertanyakan tuhan seperti kau tanyakan siapa bapakmu?!!!! pergi! dan jangan kembali lagi bila kau hanya akan terus bertanya tentang siapa tuhan"

jalan-jalan lengang di subuh yang masih mengumandangkan tasbih dan doa membawaku ke kelok-kelok sunyi, dinding besar para darwis yang "agung". memang benar aku tak tahu siapa bapakku, yang aku tahu dari ibu, si pelayan bar, bahwa bapakku ialah seorang pelanggan bar yang terlalu sering datang ke bar hingga mereka jatuh cinta. cinta yang akhirnya mewujud dalam wisnu, aku. ya, namaku memang wisnu dewa pencipta para hinduis.

"lalu dimana bapak sekarang ibuku yang mulia?"
"setelah malam itu kami membuatmu, ia pergi. tak tahu aku kemana ia berlabuh saat ini. aku hanay tahu ia pergi berlayar dengan husain menuju mesir."
"tidakkah ibuku yang kasih tak rindu?"
" memang aku rindu. sangat rindu. tapi ia telah menghadiahkan anak laki-laki luarbiasa sepertimu. maka rinduku telah terbayar dengan senyummu anakkku.
"ibuku yang mulia,..." aku mengeluh hanya mendapat jawaban yang sama tiap pertanyaan ini muncul diantara kami. dan diakhiri dengan satu kalimat.
"tak tahukah kau matahariku, kau mirip sekali dengan ayahmu."

selama ini aku mencari tuhan sebagai hal yang paling tahu dari apapun. gaib yang membentangkan jagat dengan jentik lemah. tapi tak ada yang meu menjawab, dimana tuhan.
ketika ku datangi altar masjid-masjid megah para darwis, yang kulihat hanya damai yang tenang. syair-syair indah tentang tuhan mereka senandungkan dengan begitu nyata seolah tuhan ada didepan mereka. inginku bertanya pada para darwis,namun ibu melarang, katanya mereka terlalu suci untuk bertemu dengan aku yang kotor. maka hanya ada satu jalan yang bisa aku lakukan. tidak ku tanyakan pada siapapun tentang pertanyaanku tapi kutanyakan pada diriku sendiri. tiap malam setelah bekerja sebagai penarik pedati aku sediakan waktu duduk-duduk di di depan dinding angung masjid para darwis. mendengarkan syair-syair tuhan ini buat aku tenang.
Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." *

maka terenunglah aku. terkadang sampai panggilan ibadah subuh aku masih disitu. setiap malam berlau dengan syair-syair tuhan membuat aku ketagihan hingga aku dipanggil si tukang dinding oleh orang-orang. paginya aku tetap bekerja sebagai penarik pedati dan hasilnya selalu aku berikan pada ibuku yang mulia meski terkadang beliau menyuruhku menyimpannya sendiri.
suatu pagi sekembalinya aku dari merenung, ibu menghapiriku.

"sudah saatnya engkau menikah anakku. ketika kau menikah nanti, kau takakan keluar malam lagi setiap hari dan hidupmu akan lebih tenang"
"anakmu ini tak pernah memiliki pandangan tentang perkawinan ibuku yang kasih. anakmu tak tahu dengan siapa akan menikah"

malam-malam berikutnya aku kembali duduk diam di samping dinding Agng itu lagi. malam ini aku merasa resah karena persoalan pernikahanku nanti. suatu malam aku tertidur. entah dalam mimpi atau kenyataan, aku bertemu dengan salah seorang darwis, ia mengenakan pakaian putih-putih dengan surban merah. wajahnya bercahaya menampakkan kesucian. segera aku bangkit dari duduk dan terseyum kaku membalas senyumnya yang murni. darwis itu kemudian mengambil tanganku, membuka telapakku dan menyerahkan sesuatu disana. aku tak tahu apa benda ini. ia bercahaya seperti sang darwis. dalam kedipan kedua aku tak menemukan lagi sang darwis didepan ku.

ketika ku buka mataku di tengah panggilan ibadah subuh dengan terheran aku menemukan sesuatu di tanganku. benda itu seperti sebuah cawan kecil yang terbuat dari emas.

"ibuku yang kasih, aku bermimpi bertemu dengan seorang darwis tadi malam. dan ketika bangun aku mendapatkan benda ini ditanganku"

"subhanallah! subhanallah! subhanallah!"

"tahukah kau anakku, cawan ini ialah hadiah yang pernah ayahmu berikan sebelum pergi dan tak kembali. benda ini sempat hilang ketika aku melahirkanmu."

mendengar pernyataan ibuku ini aku sangat kaget. lalu dengan terbata aku berkata
"ibuku yang mulia, izinkan aku memberikan hadiah bapakku ini kepada nur, mempelaiku nanti sebagai mahar. mungkin ini yang bapak inginkan. subhanallah"

mata ibu berbinar lalu turunlah bulir-bulir air mata itu, bukan perih yang kulihat tapi bahagia yang telah lama tak nampak dari mata ibuku yang mulia.

hari berikutnya, sehari sebelum pernikahan aku menemui sang syeik janggut merah. kucium tangannya setelah mengucapkan doa keselamatan untuknya. mlihat perubahan ini sang syeik terkejut dan berusaha bertanya apa yang membuat aku, sang pendosa menurut syeik, menjadi pribadi yang baru. makaku ceritakan perihal mimpi itu, dengan sabar sang syeik berkata.

"Allah telah menurunkan rahmat-Nya padamu wisnu. Allah memberikan jawabannya dengan membuat engkau terus bertanya tentang apa yang paling ingin kau ketahui. bukan masalah tuhan siapa atau diamana bapakmu. tapi untuk apa kau ada di dunia ini."

ibuku yang mulia telah mempersiapkan pernikahan sederhana dengan wanita sederhana yang kelak akan melahirkan lima anak yang membuat aku bangga sebagai seorang pemimpin dalam keluarga. ibuku yang mulia, nyanyian para darwis, syeik janggut merah, serta nur istriku telah melengkapi aku sebagai manusia.

Tidak ada komentar: