20 November 2008
Campur Kode
1.Campur Kode.
Pembicaraan alih kode takkan lengkap tanpa pembicaraan tentang campur kode sebab keduanya saling berkaitan dalam sebuah masyarakat tutur yang multietnik dan multibahasawan. Sama halnya dengan alih kode, campur kode juga merupakan sbuah gejala peleburan budaya terutama bahasa akibat dari proses adaptasi. Proses adaptasi ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, tingkat social, dan tingkat penguasaan bahasa pertama dan bahasa kedua.
Campur kode ialah penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk didalamnya pemakai kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya. (Kridalaksana, 2008 : 40)
Ohoiwutun (2002 : 69) menyebutkan bahwa campur kode ialah penggunaan unsur-unsur dari suatu bahasa tertentu dalam satu kalimat atau wacana bahasa lain.
Weinreich (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya 2007 : 66) mengatakan bahwa campur kode hampir sama dengan interferensi, yakni penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma salah satu bahasa yang terjadi dalam tuturan para dwibahasawan sebagai akibat dari pengenalan mereka lebih dari satu bahasa, yaitu sebagai hasil dari kontak bahasa.
Campur kode menurut Nababan (1993 : 16) terjadi jika seseorang mencampur dua bahasa atau ragam bahasa hanya oleh karena mudahnya dan bukan karena dituntut keadaan berbahasa itu. Ini berarti proses campur kode bukan saja karena factor keterbatasan kata dalam suatu bahasa tetapi juga faktor kebiasaan dan faktor prestise.
Kachru (dalam Fitriyah, 2005 : 24) membeikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.
Campur kode terjadi apabila seseorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsure-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, seseorang yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode bahasa.
Nababan (dalam Aslinda dan Leni Syafyahya 2007 : 87) menyatakan ciri yang menonjol dalam campur kode ini ialah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi formal, jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur kode dalam keadaan formal karena tidak ada kata atau ungkpan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing.
Seorang penutur misalnya, dalam berbicara Indonesia banyak menyelipkan bahasa daerahnya, maka penutur itu dapat dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, muncul satu ragam bahasa Indonesia yang keminang-minangan atau ke jawa-jawan.
A : “assalamualaikum wai”
B : “waalaikumsallam oe Rita, lu u masuk!”
Klausa pertama penutur A menggunakan kata sapaan salam dari bahasa arab yang telah masuk dalam kata serapan asing bahasa Indonesia ditambah dengan kata “wai” yang berarti nenek dalam bahasa Bima. Sedangkan penutur B menggunakan kata sapaan balas salam ditambah idiom “oe” yang bermakna sama dengan idiom “oh” dalam bahasa Indonesia, “Rita” merupakan nama penutur A, dan kata “lu u” yang bermakna “masuk”, serta dipertegas dengan bahasa Indonesia kembali.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar