05 November 2008

Masyarakat Tutur

Masyarakat Tutur.
Menurut Wijaya dan Muhammad (2006 : 46) masyarakat tutur ialah sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi dengan bhasa tertentu yang dpat dibedakan dengan kelompok masyarakat tutur lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan.
Chaer dan Agustina (2004 : 36) mendefinisikan masyarakat tutur sebagai suatu kelompok orang atau masyarakat memiliki verbal repetoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu.
Fishman dalam Cher dan Agustina (2004 : 36) mengatakan masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggitanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa dan norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya.
Masyarakat tutur menurut Kridalaksana (2008 : 150) ialah kelompok orang yang merasa memiliki bahasa bersama atau yang merasa termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang pada bahasa standart yang sama.
Gumperz dalam Sumarsono (2007 : 318) mengatakan bahwa masyarakat tutur ialah sekelompok menusia yang memiliki karakteristik khas karena melakukan interaksi yang teratur dan berkali-kali dengan tanda-tanda verbal yang sama, dan berbeda dari kelompok lain karena adanya perbedaan yang signifikan dalam penggunaan bahasa.
Berdasarkan pendapat para ahli bahasa dan sosiolinguistik diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat tutur ialah sekelompk orang atau individu yang memiliki kesamaan atau menggunakan sistem kebahasaan yang sama berdasarkan norma-norma kebahasaan yang sesuai.
William Labov dalam Sumarsono (2007 : 318) mengatakan bahwa masyarakat tutur tidaklah ditentukan oleh kesepakatan yang jelas dalam penggunaan unsur-unsur bahasa, melainkan lebih banyak oleh partisipasi penutur dalam seperangkat norma bersama ; norma ini bias diamati pada perilaku evaluatif yang terbuka, dan dari keseragaman pola-pola variasai yang basatrak yang tetap sehubungan dengan tingkat penggunaan tertentu.
Dalam masyarakat yang sesungguhnya, anggota-anggotanya memungkinkan memiliki ciri fisik yang berupa organ bicara (organ of speech) yang berbeda-neda yang pada gilirannya nantu menghasilkan idiolek yang berbeda. Dalam masyarakat itu anggota-anggotanya dimungkinkan pula memiliki kepribadian yang berbeda yang nantinya menimbulkan wujud dan cara bahasa yang berlainan. Sementara itu, asal kedaerahan yang berbeda akan melahirkan bermacam-macam variasi regional yang lazim disebut dialek. Dan akhirnya, status sosial ekonomi anggota masyarakat yang berbeda-beda akan mewujudkan sosiolek yang berbeda.
Faktor-faktor sosial dan individual yang lain, seperti umur, jenis kelamin, tingkat keakraban, latar belakang keagamaan, dan sebagainya tentu menambah komplek wujud bahasa yang terdapat dalam sebuah masyarakat tutur, sehingga tidak mustahil bahwa dalam sebuah masyarakat tutur terdapat sejumlah masyarakat tutur lain dalam skope yang lebih kecil.
Anggota-anggota sebuah masyarakat tutur tidak hanya dicikan oleh bentuk bahasa yang digunakannya, tetapi juga ditentukan oleh pandangan atau persepsi mereka terhadap bentuk bahasa yang digunakan oleh mereka dan bentuk bahasa yang digunakan oleh anggota masyarakat yang lain. Misalnya, masyarakat tutur bahasa Jawa dialek Solo-Yogyakarta memiliki persepsi bahwa varian bahasa yang digunakannya memiliki prestise yang lebih tinggi dibandingkan dengan varian dialektal yang lain seperti bahasa Jawa dialek Jawa Timur.
Ciri khas bahasa seseorang disebut idiolek, sedangkan kumpulan idiolek dalam sebuah bahasa disebut dialek. Variasi yang digunakan oleh orang-orang yang berbeda tingkat sosialnya termasuk variasi dialek social atau sosiolek. (Nababan dalam Chaer dan Agustina, 2004 : 39)
Verbal repertoire ialah semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dimiliki atau dikuasai seorang penutur. Berdasarkan luas dan sempitnya verbal repertoil sebuah masyarakat tutur dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Masyarakat tutur yang repertoire pemakaiannya lebih luas, dan menunjukan verbal repertoire setiap penutur lebih luas pula.
2. Masyarakat tutur yang sebagaian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilikan wilayah linguistic yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya.
Fishman dan Gumperz dalam Chaer dan Agustina (2004 : 38) mengatakan bahwa masayarakat modern mempunyai kecenderungan masyarakat tutur yang lebih terbuka dan cenderung menggunakan barbagai variasi dalam bahasa yang sama, sedangkan masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi dan beberapa bahasa yang berlainan.
Dalam sebuah masyarakat tutur, terdiri atas dua jenis pnutur menurut Wijaya dan Muhammad (2006 : 48) yakni :
1. Penutur berkompeten (Fully Fledge Speaker)
Penutur berkompeten ialah penutur yang benar-benar mampu menggunakan bahasa dalam berbagai pengetahuan tentang kosa kata dan struktur bahasa yang bersangkutan, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk mengkomunikasikannya secara pragmatis. Seorang penutur yang berkompeten harus memiliki empat pengetahuan yakni : (1) pengetahuan mengenai gramatikan dan kosa kata suatu bahasa, (2) pengetahuan mengenai kaidah-kaiah berbahasa (ules of speaking), misalnya, pengetahuan bagaimana memulai sebuah pembicaraan, (3) pengetahuan tentang bagaimana menggunakan dan merespon tipe-tipe tindak tutur yang berbeda-beda, sepertyi perintah, permohonan atau ucapan terima kasih, (4) penegetahuan tentang bagaimana berbicara secara wajar.
2. Penutur Partisipatif ( Unfully Fledge Speaker)
Penutur partisipatif ialah penutur yang tidak atau menguasai bahasa dalam berbagai tindak tutur atau komunkasi. Seorang penutur partipatif biasanya ialah seorang pendatang dalam sebuah masyarakat tutur dan ia mengalami sebuah culture shock atau gegar budaya. Wijaya dan Muhammad (2006 : 51) memberikan contoh sebagai berikut :
Seorang penutur asli bahasa bali pindah ke kota semarang. Ia mendengar seorang tetangganya yang penutur bahasa Jawa mengatakan
“ Sesuk aku arep tunggu manuk.”
Secara harfiah kalimat tersebut berarti
“Bsok saya akan menunggu burung.”
Orang bali tersebut tidak memahami makna sebenarnya kalimat tersebut sebab ia hanya memahami kalimatnya secara harfiah, padahal, kalimat tersebut bermakna
“Besok saya akan menghalau burung.”
Perbedaan penafsiran kaliamt ini karena penutur dan lawan tutur memuliki perbedayaan budaya.
Didalam sebuah masyarakat tutur terdapat individu-individu yang melakukan tuturan. Individu-individu tersebut melaksanakan komunikasi antarindividu yang terjadi melalui dua tindakan yakni peristiwa tutur dan tindak tutur.

Tidak ada komentar: